Rabu, 18 November 2015

Tulisan 7 Softskill Etika Profesi Akuntansi

PSAK 55 serta Implementasinya pada Industri Perbankan

1. Sekilas tentang PSAK 50
Komite Standar Akuntansi Keuangan (KSAK) pada 15 Juli 1998 mengesahkan PSAK No.50 tahun 1998 tentang Akuntansi Investasi Efek Tertentu. PSAK ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1999. Kemudian dilanjutkan dengan PSAK 55 tentang Akuntansi Instrumen Derivatif dan Aktivitas Lindung Nilai dikeluarkan pada tanggal 21 September 1998 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 2000.
Karena dianggap kedua PSAK tersebut belum sesuai dengan standar Internasional, maka Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK), yang dulunya disebut Komite Standar Akuntansi Keuangan (KSAK) mengesahkan revisi atas PSAK No. 50 (1998) tersebut yaitu PSAK No.50(revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Penyajian dan pengungkapan dan PSAK No.55(revisi 2006) tentang pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan pada tanggal 16 Desember 2006. Kedua  PSAK  ini pada rencananya diberlakukan pada 1 Januari 2009. Namun, karena bank-bank di Indonesia menyatakan belum siap menggunakan PSAK No. 50 (revisi 2006) ini, maka pemberlakuannya diundur hingga 1 Januari 2010.
Belum sempurna penerapan yang dilakukan perbankan dan lembaga keuangan terhadap PSAK tersebut, Dewan Standar Akuntansi Keuangan mengeluarkan lagi ED PSAK 50 (revisi 2010): Instrumen Keuangan: Penyajian dalam rapatnya pada tanggal 22 Mei 2010. ED PSAK 50 (revisi 2010): Instrumen Keuangan: Penyajian rencananya akan merevisi PSAK 50 (revisi 2006):Instrumen Keuangan:Penyajian dan Pengungkapan. Sedangkan, untuk pengungkapan Instrumen Keuangan, dikeluarkankanlah ED PSAK 60 (revisi 2010). ED atau Exposure Draft merupakan draft PSAK yang akan dimintakan tanggapan kepada masyarakat. Alasan DSAK dan IAI mengeluarkan ED ini, tidak lain karena ingin segera ‘mengejar target’, karena pada 2012 nanti Indonesia sudah harus mengadopsi seluruh standar IFRS.
2. Instrumen Keuangan pada Perbankan
Menurut standar lama, instrumen keuangan yang dimiliki oleh perbankan hanyalah sebatas pada instrumen pasar uang (money market) serta instrumen pasar modal (capital market) yang meliputi surat berharga komersial, saham, surat pengakuan utang, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek.
Apabila standar baru yang digunakan, kecuali aktiva tetap, hampir seluruh item pada laporan keuangan perbankan merupakan instrumen keuangan. Hal ini cukup mengundang perdebatan karena definisi tersebut mencakup dua kelompok item paling besar baik pada sisi debet, maupun sisi kredit, yakni simpanan (deposit atau receivable) dan kredit (loan). Hal ini disebabkan karena pada PSAK No. 50 (1998) yang merupakan standar lama, belum sesuai dengan IFRS. Sedangakan PSAK No. 50 (revisi 2006)  sudah tercakup jenis instrumen keuangan “Loan and Receivable”, sama seperti IAS 32.
JWGSS (1999), JWGBA (1999a), Gebhart (2003) menjelaskan mengenai pengelompokkan aktivitas bank menjadi trading book dan banking book.
Menurut Peraturan Bank Indonesia PBI No : 5/12/PBI/2003
Seluruh posisi perdagangan bank pada instrumen keuangan dalam neraca dan rekening administratif serta transaksi derivatif yang (1) dimaksud untuk dimiliki dan dijual kembali dalam jangka pendek ;(2) dimiliki untuk tujuan memperoleh keuntungan jangka pendek dari perbedaan suku bunga; (3) timbul dari kegiatan perantaraan(brokering) dan kegiatan pembentukan pasar (market marking); atau (4) diambil untuk tujuan lindung nilai (hedging) komponen trading book lain.
Sedangkan banking book menurut PBI No:5/12/PBI/2003 adalah semua elemen atau posisi lainnya yang tidak termasuk dalam trading book.
Berdasarkan pengelompokkan tadi, instrumen keuangan yang termasuk ke dalam trading book adalah kategori “Fair Value Through Profit or Loss”, derivatif, dan instrumen lindung nilai (hedge) seperti fordward contract, opsi, interest rate, swap dan sebagainya. Sedangkan instrumen keuangan yang termasuk di dalam kategori banking book adalah kredit, simpanan (giro, deposito, tabungan), own bond issues atau dengan kata lain instrumen “Loan and Receivable”.
B. Pembahasan
1. Instrumen Keuangan pada PSAK 50 dan 55

a. Definisi (Definition)
Pada PSAK No. 50 (1998), istilah yang disebut-sebut sebagai instrumen keuangan diistilahkan dengan sebutan “efek”, yang memiliki definisi :
“ Surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek”.
Sedangkan PSAK No. 50 (revisi 2006) mendefinisikan instrumen keuangan  adalah :
“Setiap kontrak yang menambah nilai aset keuangan entitas dan kewajiban keuangan atau instrumen ekuitas entitas lain”
Selain itu, definisi tersebut mencakup :
a.Aset keuangan, adalah setiap aset yang berbentuk :
  • Kas
  • Instrumen ekuitas milik entitas lain
  • Hak kontraktual
  1. Untuk mempertukarkan aset keuangan atau kewajiban keuangan dengan kondisi yang berpotensi menguntungkan entitas tersebut, atau
  2. Untuk menerima kas atau aset keuangan lainnya dari entitas lain
  • Kontrak yang akan atu mungkin diselesaikan dengan mengguanakan instrumen ekuitas milik entitas yang bersangkutan dan merupakan suatu:
  1. Non derivatif dalam hal entitas harus atau mungkin diwajibkan untuk menerima suatu jumlah yang variabel (variable number) dan instrumen keuangan milik entitas, atau
  2. Derivatif yang akan atau mungkin diselesaikan selain dengan mempertukarkan sejumlah tertentu  kas atau aset keuangan lain untuk suatu jumlah yang ditetapkan (fixed amount) dari instrumen ekuitas milik entitas.
b.Kewajiban keuangan, setiap kewajiban berupa :
    1. Kewajiban kontraktual
1.     Untuk menyerahkan kas atau aset keuangan lain kepada entitas lain; atau
2.    Untuk mempertukarkan aset keuangan atau kewajiban keuangna dengan entitas lain dengan kondisi yang berpotensi merugikan entitas tersebut Kontrak yang akan atau mungkin disesuaikan dengan menggunakan instrumen ekuitas milik entitas yang bersangkutan dan merupakan suatu
3.    Non-derivatif dalam hal entitas harus atau mungkin diwajibkan untuk menyerahkan suatu jumlah yang variabel (variabel number) dan instrumen ekuitas milik entitas ; atau
4.    Derivatif yang akan atau mungkin diselesaikan selain dengan mempertukarkan sejumlah tertentu  kas atau aset keuangan lain untuk suatu jumlah yang ditetapkan (fixed amount) dari instrumen ekuitas milik entitas
c.     Instrumen ekuitas, adalh setiap kontrak yang memberikan hak residual atas aset entitas setelah dikurangkan dengan seluruh kewajibannya.
Definisi instrumen keuangan/ efek pada PSAK No. 50 (1998) lebih mengacu kepada macam-macam instrumen keuangan  itu sendiri, seperti surat pengakuan utang, saham, obligasi dan sebagainya. Sedangkan PSAK No. 50 (revisi 2006)  lebih menekankan pada  pengertian “kontrak” sehingga memiliki cakupan pengertian instrumen keuangan yang lebih luas. Sebagai contohnya piutang (receivable), jika mengacu  pada PSAK No. 50 (1998), maka piutang (receivable) ini tidak termasuk dalam kategori efek. Sedangkan apabila memakai acuan PSAK No. 50 (revisi 2006), piutang ini masuk ke dalam instrumen keuangan. Hal ini disebabkan karena bagi pihak yang memberikan piutang, maka nilai Assetnya bertambah dan bagi yang berhutang nilai kewajibannya bertambah. Hal ini memenuhi pengertian instrumen keuangan menurut PSAK No. 50 (revisi 2006).
Pada ED PSAK No. 50 (revisi 2010), definisinya tidak banyak berubah dari definisi  PSAK 50 tahun 2006, tetapi ada tambahan yaitu mengenai Instrumen yang mempunyai fitur opsi jual (puttable instrument). (Puttable instrument) adalah
instrumen keuangan yang memberikan
hak kepada pemegangnya untuk menjual kembali instrumen
kepada penerbit dan memperoleh kas atau aset keuangan lain
atau secara otomatis menjual kembali kepada penerbit pada
saat terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti di masa yang
akan datang atau kematian atau purna karya dari pemegang
instrumen.
Sebelumnya, hal ini tidak ada pada PSAK 50 tahun 2006. Untuk selanjutnya bahasan akan kita persempit pada PSAK No. 50 (1998) dan PSAK No. 55 (1999) serta PSAK No. 50 & 55 (revisi 2006) saja karena PSAK inilah yang sedang diterapkan di Indonesia sekarang ini.
b) Klasifikasi (classification)
PSAK No. 50 (1998) mengklasifikasikan instrumen keuangan (istilah dalam PSAK ini adalah efek) ke dalam salah satu dari tiga kelompok berikut ini :
i.             Dimiliki hingga jatuh tempo (Held to maturity)
ii.             Diperdagangkan (trading)
iii.          Tersedia untuk dijual (available for sale)
Bila dilihat  pada PSAK  ini, maka klasifikasi tersebut sama dengan yang di atur dalam US GAAP.Sedangkan menurut pencatatannya pada neraca, PSAK 50 (revisi 2006) paragraf 7 mengklasifikasikan instrumen keuangan ke dalam empat kategori :
1.     Aset keuangan atau kewajiban keuangan yang dinilai pada nilai wajar melalui laporan laba rugi (financial asset at fair value through profit or loss/FVTPL) dengan kriteria :
a)    Untuk diperdagangkan (trading), termasuk instrumen derivatif (kecuali derivatif yang ditetapkan sebagai instrumen lindung nilai dan efektif)
b)    Ditetapkan (designated)
2.   Investasi yang dimiliki hingga jatuh tempo (Held to maturity/HTM), dengan kriteria:
a)    Aset keuangan non-derivatif
b)    Pembayaran tetap/telah ditentukan
c)    Jatuh tempo telah ditetapkan
d)   Entitas memiliki maksud dan kemampuan untuk memiliki hingga jatuh tempo
3.    Pinjaman yang diberikan dan piutang (Loan and Receivable/ L&R), dengan kriteria yang sama dengan HTM hanya saja tidak memiliki kuotasi di pasar aktif (quoted market)
4.   Aset keuangan tersedia untuk dijual (Available for sale / AFS), dengan kriteria
a)    Aset keuangan non-derivatif
b)    Ditetapkan sebagai AFS
c)    Tidak diklasifikasikan sebagai FVTPL, L&R dan HTM
Kategori yang berbeda dengan  PSAK 1998 adalah Loan and Receivable. Dengan adanya PSAK No. 50 (revisi 2006) inilah maka Pinjaman dan deposit di industri perbankan memenuhi kriteria sebagai Instrumen Keuangan dan harus diperlakukan dengan memenuhi syarat-syarat dalam PSAK No. 50 (revisi 2006).

c. Pengakuan (Recognition)
Pengakuan atas instrumen keuangan disesuaikan dengan klasifikasi yang telah penulis jelaskan di atas, Jadi, apabila mengacu kepada PSAK No. 50 (1998), maka diakui ke dalam salah satu dari 3 kategori Held to Maturity, trading dan Available for Sale dimana mengklasifikasikan instrumen keuangan tersebut lebih kepada menurut penyajiannya dalam neraca.
PSAK No. 50 (revisi 2006) melakukan pengklasifikasian berdasarkan pengakuan dan pengukurannya yaitu berdasar jangka waktu suatu aset keuangan akan dimiliki ataupun jangka waktu tempo untuk kewajiban keuangan.

d. Penghentian Pengakuan (Derecognition)
Instrumen keuangan bukanlah instrumen yang akan terus ada di dalam Balance sheet. Ia dapat dikeluarkan dari Balance Sheet jika  terjadi beberapa kondisi seperti :
–  jatuh tempo
–  pemutusan kontrak
–  transfer jual beli instrumen keuangan
PSAK tahun 1998 sedikit sekali membahas mengenai penghentian pengakuan. PSAK No. 55 (revisi 2006) banyak memberikan penekanan pada “keterlibatan berkelanjutan” atau continuing involvement jika terjadi transfer aset keuangan. Yakni apakah seluruh resiko dan manfaat secara substansial juga telah ditransfer, dan juga apakah pengendalian terhadan instrumen keuangan tersebut masih dimiliki atau tidak.
Sebagai contoh pada kasus perjanjian pembelian kembali atau repurchase agreement, dimana perusahaan  menjual financial asset dengan perjanjian bahwa financial asset tersebut akan dibeli kembali pada harga yang ditetapkan atau pada harga jual semula ditambah keuntungan. Pada kasus tersebut walaupun terjadi transfer financial asset dan juga arus kas ata aset yang ditransfer, perusahaaan masih memiliki kontrol terhadap financial asset yang ditransfer melalui hak membelifinancial asset tersebut kembali. Karena hal tersebut, maka financial asset yang telah ditransfer tersebut masih tetap dicatat di Balance sheet..
Walaupun sebuah entitas masih memiliki hak kontraktual untuk menerima arus kas dari financial asset, entitas tersebut masih dapat mengakui adanya transfer keuangan jika dia memiliki kewajiban kontraktual untuk membayar arus kas yang diterima tersebut kepada satu atau pihak lain sesuai kesepakatan dan memenuhi syarat sebagaimana yang telah dijelaskan pada PSAK No. 55 (revisi 2006) paragraf 16. Transaksi ini tidak diatur pada PSAK No. 50 (1998), dan oleh IAS diistilahkan sebagai “pass trough arrengement”. Transaksi ini biasanya ditemui pada sekuritisasi ataupun spesial purpose entities (SPE).
Contoh kasus :
Transfer of financial asset yang tidak memenuhi derecognition (penghentian pengakuan) :
PT A menjual instrumen utang yang diterbitkan oleh PT B dengan harga Rp 5.000.000 dan memberikan jaminan atas default asses atas instrumen utang yang dijual tersebut. Hakikatnya PT A tetap menahan hampir seluruh resiko dan manfaat dari instrumen tersebut sehingga tidak dapat diperlakukan sebagai pelepasan asset. Di sisi lain perusahaan akan mengakui kewajiban. Jurnal yang dibuat PT A:
Cash                                                            5.000.000
Financial Liabilities                                                     5.000.000

e. Pengukuran (Measurement)
PSAK No. 55 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran telah banyak mengadopsi IAS 39 dibandingkan PSAK No. 55 (1999). Ada perbedaan yang mendasar pada pengukuran awal (initial measurement) antara PSAK 55 (1998) dengan PSAK 55 (revisi 2006). Sebelumnya, semua instrumen keuangan dikur pada pengukuran awal sebesar historical cost, namun menurut PSAK No. 55 (revisi 2006), pengukuran nilai awal instrumen keuangan berdasarkan fair value-nya. Khusus untuk Held to Maturityfair value tersebut ditambah dengan biaya-biaya yang berhubungan langsung dengan akuisisi ataupun penerbitan instrumen keuangan tersebut.
Sebagai contohnya, misalkan PT. A menerima pinjaman dari PT. B sebesar 10 juta tanpa bunga selama 5 tahun. Pada kasus ini pinjaman tersebut termasuk kategori Loan and Receivable. Pada saat terjadi transaksi, market rate untuk pinjaman 5 tahun yang serupa adalah 10 %. Dengan mendiskontokan jumlah pinjaman tersebut dengan tingkat bunga 10 %, maka balance sheet perusahaan A akan mencatat pinjaman awal sebesar Rp 6.210.000, bukan Rp 10.000.000.
Perbandingan pengukuran dan pengakuan gain atau loss dapat dilihat dari perbandingan PSAK No. 50 (1998) dengan PSAK No. 50 (revisi 2006)  secara ringkas pada tabel di bawah ini :
Perbandingan pengukuran menurut PSAK No. 50 (1998) dengan PSAK No. 50 (revisi 2006)
Jenis
PSAK 50 1998
PSAK 55 revisi 2006
FVTPL
1. pengukuran awal berdasarkan cost(biaya)
2. pengukuran selanjutnya berdasarkan
fair value
3.gain atau loss yang belum direalisasi atas efek kategori trading harus diakui sebagi income.
  1. Pengukuran awal berdasarkanfair value (par 43)
  2. Pengukuran selanjutnya berdasar fair value (par 46)
  3. gain atau loss diakui pada income statement.
HTM
1.   Pengukuran awal berdasarkan cost
2.  Pengukuran selanjutnya berdasaramortized cost
  1. pengukuran awal berdasarkanfair value (par 43)
  2. pengukuran selanjutnya diukur pada biaya perolehan diamortisasi dengan metode suku bunga efektif (par 46)
  3. gain atau loss diakui padaincome statement.Terjadi ketikafinancial asset atau financial liabilities tersebut dihentikan pengakuannya atau mengalami penurunan nilai dan melalui proses amortisasi. (par 50)
L&R
Tidak diklasifikasikan
  1. 1. Pengukuran awal berdasrkanfair value
  2. Pengukuran selanjutnya diukur pada biaya perolehan diamortisasi dengan metode suku bunga efektif (par 46)
  3. gain atau loss diakui padaincome statement.Terjadi ketikafinancial asset atau financial liabilities tersebut dihentikan pengakuannya atau mengalami penurunan nilai dan melalui proses amortisasi. (par 50)
AFS
  1. Pengukuran awal berdasarkan cost
  2. Pengukuran selanjutnya berdasarkan fair value
3. gain atau loss yang belum direalisasi atas AFS (termasuk efek yang diklasifikasikan sebagai curret asset) harus dimasukkan sebagai komponen ekuitas yang disajikan terpisah, dan tidak boleh diakui sebgai income sampai gain atau loss tersebut dapat direalisasi.
  1. Pengukuran awal berdasarkanfair value (par 43)
  2. Pengukuran selanjutnya berdasar fair value (par 46)
  3. gain atau loss diakui pada laporan perubahn ekuitas
Sumber : PSAK 50 (1998) dan PSAK (revisi 2006)
Fair value merupakan nilai yang didapat seolah-olah terjadi pertukaran aset atau penyelesaian kewajiban. Salah satu hal baru yang ada pada PSAK 55 (revisi 2006) ialah aturan mengenai fair value optio). Jika pada PSAK 50 (1998) instrumen keuangan yang diukur dengan nilai wajar hanya instrumen keuangan dengan tujuan untuk diperdagangkan. Dengan pilihan nilai wajar, perusahaan diperbolehkan untuk menetapkan (designated) instrumen keuangan diluar untuk keperluan trading, sebagai fair value through profit or loss (FVTPL), kecuali instrumen ekuitas yang tidak memiliki kuotasi harga pasar di pasar aktif, dan yang nilai wajarnya tidak dapatdiukur secara handal (PSAK No. 55 (revisi 2006) par 8).
Masalah penentuan fair value, untuk instrumen yang memiliki kuotasi di pasar aktif seperti FVTPL, tentunya mudah untuk menentukan fair valuenya, namun apabila tidak memiliki pasar aktif fair value seperti itu tidak akan didapat. PSAK No. 55 (revisi 2006) AP 86 dan 89 mengatur mengenai pengukuran instrumen yang tidak mempunyai pasar aktif dengan teknik penilaian :
  1. Penggunaan transaksi pasar terkini yang dilakukan secara wajar oleh pihak-pihak yang memahami, berkeinginan (arm’s length market transaction)
  2. Nilai wajar terkini instrumen lain yang secra substansial sama
  3. Analisis discounted cah flow
  4.  Penggunaan option pricings model

f. Reklasifikasi (Reclassification)
Salah satu bentuk kedisiplinan IAS yang diadopsi oleh PSAK No. 50&55 (revisi 2006) adalah dalam masalah reklasifikasi ini. Pada PSAK No. 50 (1998) tidak memberikan larangan mengenai pengklasifikasian ulang instrumen keuangan yang sebelumnya telah direklasifikasi. Hal ini memungkinkan adanya moral hazard oleh manajemen perusahaan dengan mereklasifikasi instrumen keuangannya untuk tujuan pemerataan laba atau income smoothing.
Sebagai contoh ketika instrumen keuangan yang sebelumnya termasuk dalam HTM ataupun AFS,  fair valuenya meningkat, menajemen kemudian mereklasifikasi instrumen keuangan sebagai “trading” agar gain yang dihasilkan dari peningkatan fair value tersebut dapat langsung diakui di income statement sehingga laba akan ‘seolah-olah’ meningkat.
PSAK No. 55 (revisi 2006) yang mengatur lebih ketat masalah reklasifiksi ini. Ada tiga aturan baru reklasifikasi menurut PSAK ini :
  1. i.        Reklasifikasi dari kelompok klasifikasi manapun DARI atau KE FVTPL tidak diperbolehkan
  2. ii.        Reklasifikasi Loan and Receivable DARI atau KE HTM dan FVTPL tidak diperbolehkan
  3. iii.        Reklasifikasi dari AFS menjadi Loan and Receivable tidak diperbolehkan
Selain itu, terdapat ‘tainting rule’ yaitu larangan untuk mengklasifikasikan HTM selama 2 tahun jika entitas bermaksud menjual atau mereklasifikasi investasi HTM dalam jumlah pokok yang signifikan, kecuali jika sudah mendekati jatuh tempo, jumlah pokok hutang hampir seluruhnya tertagih atau ada kejadian tertentu di luar kendali.

g. Penurunan Nilai (Impairment)
PSAK No. 50 (1998) tidak memberikan panduan yang jelas tentang indikator-indikator penurunan nilai untuk instrumen keuangan. PSAk 50 (1998) menyebutkan bahwa biaya perolehan yang diturunkan nilainya tidak dapat diubah lagi. Mengenai apakah nilai tersebut dapat direstorasi lagi tidak disebutkan dalam PSAK ini.
Sedangkan jika dibandingkan dengan PSAK 50 (1998), PSAK 55 (revisi 2006) memberikan penekanan lebih pada ’bukti objektif (objective evidance)’ yang menjadi dasar daripenurunan nilai tersebut (paragraf 60) dan juga penekanan bahwa evaluasi akan adanya penurunan tersebut harus dilakukan pada setiap tanggal neraca (paragraf 59).  Sebagai contohnya instrumen keuangan jenis FVTPL akan dinyatakan turun nilainya berdasarkan PSAK 55 (revisi 2006)apabila pasar aktif instrumen tersebut hilang karena kesulitan keuangan.
Selain itu, untuk masalh restorasi nilai yangditurunkan, diatur lebih jelas dalam PSAK revisian ini seperti pada tabel di bawah ini :
Aturan Pemulihan (restorasi) Nilai pada Penurunan Nilai (impairment)
Klasifikasi
Perlakuan
FVTPL
Pada FVTPL tidak berlaku penurunan nilai (impairment) karena
sudah dinilai dengan nilai wajar
HTM
kerugian karena penurunan nilai dapat dipulihkan
L&R
kerugian karena penurunan nilai dapat dipulihkan
AFS
kerugian karena penurunan nilai instrumen ekuitas sebagai AFS tidak
dapat dipulihkan, sedangkan untuk instrumen hutang kerugian
penurunan nilai dapat dipulihkan


h. Instrumen Keuangan Derivatif
Baik PSAK 55 (1999) maupun PSAK 50 (revisi 2006) memiliki definisi yang
kurang lebih sama mengenai instrumen derivatif, yakni PSAK No. 50 (revisi 2006)
Suatu instrumen keuangan atau kontrak lain dengan tiga karakteristik sebagai
berikut:
a) Nilainya berubah sebagai akibat dari perubahan dalam suku bunga, harga
instrumen keuangan, harga komoditas, nilai tukar mata uang asing, indeks
harga atau indeks suku bunga, peringkat kredit atau indeks kredit, atau variabel
lainnya yang telah ditentukan sepanjang untuk variabel non keuangan bukan
merupakan variabel yang ditentukan secara khusus bagi para pihak dalam
kontrak tersebut (sering disebut sebagai variabel yang mendasari),
b) Tidak memerlukan investasi awal neto atau memerlukan investasi awal neto
dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah yang dibutuhkan
untuk kontrak sejenis lainnya yang diperkirakan akan menghasilkan pengaruh
yang sama terhadap perubahan faktor pasar,
d) Diselesaikan pada tangal tertentu dimasa mendatang
  1. i. Pengungkapan
PSAK 50 (1998) dan 55 (1999):hanya mengatur pengungkapan sesuai dengan ruang lingkup dari setiap PSAK tersebut. Sementara PSAK 50 (revisi 2006) mengatur pengungkapan untuk seluruh instrumen derivatif dengan rinci.
Yang harus diungkapkan dalam laporan keuangan meliputi :
1.   Format, Tempat dan Klasifikasi Instrumen Keuangan
–    Pernyataan ini tidak mengatur format dari informasi yang dipersyaratka untuk diungkapkan atau tempatnya dalamlaporan keuangan.
–    Pengungkapan dapat berbentuk kombinasi dari penjelasan naratif dan kuantitatif, sepanjang dianggap memadai untuk mengungkapkan karakteristik instrumen dimaksud serta arti pentingnya bagi entitas.
–    Manajemen entitas mengklasifikasikan instrumen keuangan dalam beberapa kelompok sesuai sifat dari informasi yang diungkapkan, dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti karakteristik instrumen tersebut dan dasar pengukuran yang telah digunakan.
2.  Kebijakan Manajemen Risiko dan Aktivitas Lindung Nilai
–    Mengungkapkan tujuan dan kebijakan manajemen risiko keuangan termasuk kebijakan lindung nilainya. Penjelasan kebijakan manajemen risiko harus memuat kebijakan yang menyangkut hal-hal seperti lindung nilai atas eksposur risiko, upaya penghindaran konsentrasi risiko yang berlebihan, dan persyaratan mengenai agunan guna mengurangi risiko kredit.
–    Menjelaskan sejauh mana suatu instrumen keuangan digunakan, risiko yang terkait dan sasaran usaha yang ingin dicapai.
–    Untuk lindung nilai atas nilai wajar, lindung nilai atas arus kas, dan lindung nilai atas investasi bersih dalam operasi di luar negeri, pengungkapan terpisah secara lebih spesifik dan terperinci harus dilakukan
3.Persyaratan, Kondisi dan Kebijakan Akuntansi
–    Untuk tiap kelompok aktiva finansial, kewajiban finansial, dan instrumen ekuitas, entitas harus mengungkapkan:
• informasi mengenai cakupan dan sifat instrumen keuangan, termasuk persyaratan dan kondisi yang bersifat signifikan yang dapat mempengaruhi jumlah, waktu, dan tingkat kepastian arus kas di masa datang;dan
• Kebijakandan metode akuntansi yang digunakan, termasuk kriteria   pengakuan dan dasar pengukuran yang diterapkan.
–       Pengungkapan untuk setiap kategori aset keuangan apakah pembelian dan penjualan aset keuangan dicatat pada tanggal perdagangan atau pada tanggal penyelesaian.
–       Jika instrumen keuangan bersifat signifikan, maka seluruh persyaratan dan kondisi instrumen tersebut harus diungkapkan.
4. Risiko Tingkat Bunga
–   Informasi mengenai eksposur risiko tingkat bunga, termasuk: :
• tanggal penilaian ulang (repricing) atau tanggal jatuh tempo kontraktual,   mana yang lebih dahulu;dan
• tingkat bunga efektif, jika tersedia.
–   Mengindikasikan aset keuangan dan liabilitas
keuangan mana yang:
• terekspos risiko tingkat bunga atas nilai wajar,
• terekspos risiko tingkat bunga atas arus kas, dan
• tidak secara langsung terekspos terhadap risiko tingkat bunga (misal      instrumen ekuitas).
–    Pengungkapan suku bunga efektif berlaku untuk obligasi, notes, pinjaman, dan instrumen keuangan sejenis yang melibatkan pembayaran di masa datang yang mencerminkan nilai waktu dari uang.
–    Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi instrumen keuangan seperti investasi dalam instrumen ekuitas dan instrumen derivatif yang tingkat bunga efektifnya tidak dapat ditentukan.
5. Risiko Kredit
–  Mengungkapkan informasi mengenai eksposur risiko kredit, termasuk:
• jumlah yang paling mewakili eksposur risiko kredit maksimal apabila pihak lawan tidak mampu memenuhi kewajibannya, tanpa  memperhitungkan nilai wajar dari agunan; dan
• konsentrasi risiko kredit yang bersifat signifikan
–       Aset keuangan dengan hak saling hapus dengan liabilitas keuangan, tidak boleh disajikan neto dalam neraca, kecuali penyelesaian akan dilakukan secara neto atau secara bersamaan. Namun demikian, entitas mengungkapkan keberadaan hak secara hukum untuk melakukan saling hapus ketika menyajikan informasi seperti yang dipersyaratkan di atas.
6. Nilai wajar
–    mengungkapkan nilai wajar tiap kelompok aset dan liabilitas dalam cara yang memungkinkan untuk diperbandingkan dengan nilai tercatat dalam Neraca.
–   Jika entitas tidak mengukur instrumen keuangan di neraca pada nilai wajar, maka entitas wajib menyediakan informasi nilai wajar pada pengungkapan tambahan
–    Jika investasi dalam instrumen ekuitas atau derivatif yang terkait tidak memiliki kuotasi, maka instrumen tersebut diukur pada biaya perolehan berdasarkan Pernyataan ini. Fakta ini harus diungkapkan bersamaan dengan penjelasan instrumen keuangan tersebut, nilai tercatatnya, dan penjelasan mengapa nilai wajarnya tidak dapat diukur secara andal, dan jika memungkinkan, kisaran dari estimasi nilai wajar yang paling memungkinkan.
7. Pengungkapan Lainnya
Pengungkapan lainnya mengenai :
(a)    Penghentian pengakuan
(b)   Jaminan
(c)    Instrumen Keuangan Majemuk dengan Beberapa
(d)   Derivatif Melekat
(e)    Instrumen Keuangan pada Nilai Wajar
(f)    Reklasifikasi/Penggolongan Kembali
(g)   Laporan Laba Rugi dan Ekuitas
(h)   Penurunan Nilai
(i)     Wanprestasi dan Pelanggaran

2. PENERAPANNYA pada industri perbankan
Seperti yang telah penulis jelaskan di atas PSAK  No 50 (Revisi 2006) tentang Penyajian dan Pengungkapan Instrumen Keuangan dan PSAK No 55 (Revisi 2006) tentang Pengakuan dan Pengukuran Instrumen Keuangan seharusnya sudah mulai diberlakukan pada 1 Januari 2009, namun karena terjadi krisis global dan keberatan yang diajukan oleh bank-bank di Indonesia menyebabkan pemberlakuannya diundur hingga 1 Januari 2010 dan diadopsi penuh pada 31 Desember 2010.
Keberatan ini dapat disebabkan akibat perubahan aturan-aturan akuntansi yang harus dipatuhi pada PSAK No. 50 (revisi 2006) setelah sebelumnya industri perbankan menggunakan PSAK No. 50 (1998). Setelah pada bagian pertama pembahasan di atas penulis telah memberikan beberapa perubahan aturan akuntansi dari PSAK No. 50 (1998) menjadi PSAK No. 50 (revisi 2006), maka berikut ini akan penulis jelaskan mengenai permasalahan-permasalahan yang timbul akibat pemberlakuan PSAK No. 50 (revisi 2006) sebagai pengganti PSAK No. 50 (1998) di industri perbankan Indonesia.
  1. a. Masalah Penyisihan Kerugian Kredit (Loan-Loss Provisioning) atau Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CPKN)
Penyisihan kerugian kredit (Loan-Loss Provisioning) adalah penyisihan (provisioning)kerugian atas portfolio kredit dan pendanaanya yang mengalami penurunan nilai ekonomi. Nilai ekonomi dari portfolio kredit dan pendanaannya (funding) dapat naik atau turun disebabkan karena adanya perubahan dengan kualitas kredit yaitu  jika terjadi masalah terhadap itikad baik (willingness to pay) dan kemampuan debitur untuk melunasi kredit beserta pinjamannya(ability to pay).Penyisihan kerugian ini penting untuk dilakukan sehingga laporan keuangan bank tersebut mencerminkan keadaan yang sebenarnya(representation faithfullness).
Selama ini dengan mengacu pada PSAK yang lama, penentuan cadangan memakai konsep ekspektasi kerugian kredit (expectation loss) sehingga  bank bisa menumpuk cadangan besar-besaran kalau bankir merasa default kredit-nya besar. Celah ini yang banyak dimanfaatkan bank untuk memoles laporan keuangannya dan melakukan window dressing yaitu merekayasa laporan keuangan bank untuk tujuan tertentu.
Namun, dengan diterapkannya PSAK 50 & 55 (revisi 2006) dan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI) tahun 2008 yang menyesuaikan PSAK tersebut, bank dituntut untuk menentukan CPKN berdasarkan data historis kerugian kredit yang sudah terjadi atau incurred loss. Adapun CKPN dihitung dari perkalian beberapa komponen, yakni potensi gagal bayar (potential of default) dikalikan jumlah kredit yang bersangkutan. Komponen lainnya loss given default (LGD) yang merupakan porsi kerugian riil akibat gagal bayar yang benar-benar tak tertagih, di luar tingkat kembalian tagihan (recovery rate). Potential of default yang dihitung dari pengalaman kerugian yang sudah terjadi berdasarkan data historis setiap jenis kredit bank tersebut minimal selama 3 tahun terakhir
Selain itu, walaupun bank dapat mengakui adanya penurunan nilai karena pailit walaupun masih dalam ’kemungkinan’, tapi tidak bisa  dikatakan sebagai ’expected loss’ karena PSAK 55 (revisi 2006) mensyaratkan bukti’objektif’ itu harus ada. Jika penyisihan diakui ketika bukti objektif ada walaupun secara riil belum diakui adanya kerugiaan (loss) tetap dikatakan sebagai’incurred loss’.
Kesulitan yang dialami bank dalam penentuan CPKN ini adalah tuntuan kepada bank untuk mempunyai data historis mengenai pengalaman kerugian dari setiap jenis kredit bank, minimal 3 tahun. Bank dituntut untuk mempunyai data mengenai jumlah tingkat kerugian suatu kredit dari setiap nasabah.  Dan untuk mendapatkan data ini, cukup rumit karena banyaknya jenis kredit dan jangka waktu yang berbeda
b. Standar baru ini dapat mengurangi sumber pendapatan bunga bank karena :
  1. Pendapatan provisi dan komisi kredit kini menjadi pengurang dari nilai kredit yang diberikan guna menghitung pendapatan bunga efektif
  2. Bunga surat berharga misalnya Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tidak boleh masuk sebagai pendapatan operasional bunga. Reklasifikasi bunga SBI ini berdampak pada bank yang   banyak menempatkan dananya di luar kredit dengan ciri rasio pinjaman terhadap dana (LDR)- nya yang relatif kecil.
  3. Kredit sebagai asset bank digolongkan pada “Loan and Receivables” yang mana valuasinya adalah dengan cara amortized cost, hal ini membawa konsekuensi bahwa nilai kredit (dalam hal ini asset bank) akan dipengaruhi oleh proyeksi cashflow dari asset tersebut, sehingga kredit yang dikenakan bunga dibawah bunga pasar akan terdiskon menjadi lebih kecil dari harga perolehannya (kredit yang dikucurkan)
c. Penerapan PSAK 50 dan PSAK 55 membutuhkan sistem dan persiapan yang cukup lama karena harus menggabungkan semua laporan keuangan dalam satu paket. Dari sisi investasi, paling sedikit setiap bank harus mengeluarkan dan sebesar US$1 juta untuk membeli sistem informasi dan teknologi untuk aplikasi pelaporan keuangan berdasarkan PSAK No. 50 & 55 (revisi 2006). (redaksi@bisnis.co.id)
d.  Selain masalah teknologi, Sumber Daya Manusia yang menguasai mengenai PSAK ini juga terbatas, jadi akan menambah masalah bagi perbankan untuk penerapan PSAK ini.
Hal- hal diatas yang kiranya merupakan alasan mengapa industri perbankan Indonesia mengalami kesulitan menerapkan PSAK No. 50 & 55 (revisi 2006) ini hingga tahun 2010. Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwasanya banyak manfaat dan kelebihan implementasi PSAK No. 50 & 55 (revisi 2006). Manfaat dan kelebihan tersebut adalah sebagai berikut.
  1.  Dengan adanya standar akuntansi Indonesia yang mengacu pada standar Internasional ini, akan meningkatkan keandalan, keterbandingan dan representative faithfullnes.
  2.  Transparansi terhadap pelaporan keuangan bank akan meningkat. Transparansi ini sangat urgent, mengingat kasus atas jatuhnya raksasa finansial Lehman Brothers saat krisis menghantam tahun 2008 silam yang diindikasi karena adanya aspek akuntansi atas transaksi repo yang kurang wajar karena kurangnya transparansi. Hal tersebut berarti bahwa dengan meningkatkan transparansi laporan keuangan, maka kecurangan-kecurangan akan dapat diminimalisir. Selain itu, aturan –aturan  baru pada PSAK revisian mempersempit kemungkinan adanya kecurangan. Seperti pada contoh yang dijelaskan di atas, yaitu masalah reklasifikasi dari dan ke kategori “FVTPL”dari kategori manapun dilarang, untuk menghindari usaha untuk menaikkan laba. Selain itu, adanya aturan yang tegas mengenai penentuan CPKN akan mengurangi kesempatan manajemen bank untuk melakukan kecurangan seperti window dressing. Bila dulu bank dapat menumpuk pencadangan besar dengan alasan kehati-hatian, meski kualitas kredit tidak mengkhawatirkan sehingga  laba ikut turun. Tujuannya menghindari pajak atau mengatur ritme kinerja. Namun dengan diberlakukan PSAK revisian ini, bank tidak bisa lagi melakukan hal itu.

DAFTAR PUSTAKA
Ikatan Akuntansi Indonesia. 1994. Standar Akuntansi Keuangan (SAK), Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keungan
Ikatan Akuntansi Indonesia. 2006. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No 50 (revisi 2006), Instrumen Keuangan.
Ikatan Akuntansi Indonesia. 2006. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No 50 (revisi 2006), Instrumen Keuangan.
Ikatan Akuntansi Indonesia. 2010. Exposure Draft (ED) Pernyataan Standar Akuntnasi Keuangan (PSAK) No 50 (revisi 2010).
Ikatan Akuntansi Indonesia. 2010. Exposure Draft (ED) Pernyataan Standar Akuntnasi Keuangan (PSAK) No 60 (revisi 2010).