PSAK
55 serta Implementasinya pada Industri Perbankan
1. Sekilas
tentang PSAK 50
Komite Standar Akuntansi
Keuangan (KSAK) pada 15 Juli 1998 mengesahkan PSAK No.50 tahun
1998 tentang Akuntansi Investasi Efek Tertentu.
PSAK ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1999. Kemudian dilanjutkan dengan PSAK
55 tentang Akuntansi Instrumen Derivatif dan Aktivitas
Lindung Nilai dikeluarkan pada tanggal 21 September 1998 dan
dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 2000.
Karena dianggap kedua
PSAK tersebut belum sesuai dengan standar Internasional, maka Dewan Standar
Akuntansi Keuangan (DSAK), yang dulunya disebut Komite Standar Akuntansi
Keuangan (KSAK) mengesahkan revisi atas PSAK No. 50 (1998) tersebut yaitu
PSAK No.50(revisi 2006) tentang Instrumen
Keuangan : Penyajian dan pengungkapan dan PSAK No.55(revisi 2006) tentang pengakuan
dan pengukuran instrumen keuangan pada tanggal 16 Desember
2006. Kedua PSAK ini pada rencananya diberlakukan pada 1 Januari
2009. Namun, karena bank-bank di Indonesia menyatakan belum siap menggunakan
PSAK No. 50 (revisi 2006) ini, maka pemberlakuannya diundur hingga 1 Januari
2010.
Belum sempurna penerapan
yang dilakukan perbankan dan lembaga keuangan terhadap PSAK tersebut, Dewan
Standar Akuntansi Keuangan mengeluarkan lagi ED PSAK 50 (revisi 2010): Instrumen Keuangan: Penyajian dalam rapatnya pada
tanggal 22 Mei 2010. ED PSAK 50 (revisi 2010): Instrumen
Keuangan: Penyajian rencananya akan merevisi PSAK 50 (revisi
2006):Instrumen Keuangan:Penyajian dan Pengungkapan.
Sedangkan, untuk pengungkapan Instrumen Keuangan, dikeluarkankanlah ED PSAK 60
(revisi 2010). ED atau Exposure Draft merupakan draft PSAK yang akan dimintakan
tanggapan kepada masyarakat. Alasan DSAK dan IAI mengeluarkan ED ini, tidak
lain karena ingin segera ‘mengejar target’, karena pada 2012 nanti Indonesia
sudah harus mengadopsi seluruh standar IFRS.
2. Instrumen
Keuangan pada Perbankan
Menurut standar lama, instrumen
keuangan yang dimiliki oleh perbankan hanyalah sebatas pada instrumen pasar
uang (money market) serta instrumen pasar modal (capital market) yang meliputi surat berharga
komersial, saham, surat pengakuan utang, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan
kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif
dari efek.
Apabila standar baru yang
digunakan, kecuali aktiva tetap, hampir seluruh item pada laporan keuangan
perbankan merupakan instrumen keuangan. Hal ini cukup mengundang perdebatan
karena definisi tersebut mencakup dua kelompok item paling besar baik pada sisi
debet, maupun sisi kredit, yakni simpanan (deposit atau receivable) dan
kredit (loan). Hal ini disebabkan karena pada PSAK No. 50
(1998) yang merupakan standar lama, belum sesuai dengan IFRS. Sedangakan PSAK
No. 50 (revisi 2006) sudah tercakup jenis instrumen keuangan “Loan and
Receivable”, sama seperti IAS 32.
JWGSS (1999), JWGBA
(1999a), Gebhart (2003) menjelaskan mengenai pengelompokkan aktivitas bank menjadi trading book dan banking book.
Menurut Peraturan Bank
Indonesia PBI No : 5/12/PBI/2003
Seluruh
posisi perdagangan bank pada instrumen keuangan dalam neraca dan rekening
administratif serta transaksi derivatif yang (1) dimaksud untuk dimiliki dan
dijual kembali dalam jangka pendek ;(2) dimiliki untuk tujuan memperoleh
keuntungan jangka pendek dari perbedaan suku bunga; (3) timbul dari kegiatan
perantaraan(brokering) dan kegiatan pembentukan pasar (market marking); atau
(4) diambil untuk tujuan lindung nilai (hedging) komponen trading book lain.
Sedangkan banking book
menurut PBI No:5/12/PBI/2003 adalah semua elemen atau posisi lainnya yang tidak
termasuk dalam trading book.
Berdasarkan
pengelompokkan tadi, instrumen keuangan yang termasuk ke dalam trading book
adalah kategori “Fair Value Through Profit or Loss”,
derivatif, dan instrumen lindung nilai (hedge) seperti fordward contract, opsi, interest rate, swap dan sebagainya. Sedangkan
instrumen keuangan yang termasuk di dalam kategori banking book adalah kredit,
simpanan (giro, deposito, tabungan), own bond issues atau dengan kata lain
instrumen “Loan and Receivable”.
B. Pembahasan
1. Instrumen
Keuangan pada PSAK 50 dan 55
a. Definisi (Definition)
Pada PSAK No. 50 (1998),
istilah yang disebut-sebut sebagai instrumen keuangan diistilahkan dengan
sebutan “efek”, yang memiliki definisi :
“
Surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham,
obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek”.
Sedangkan PSAK No. 50
(revisi 2006) mendefinisikan instrumen keuangan adalah :
“Setiap kontrak yang menambah nilai aset keuangan entitas dan
kewajiban keuangan atau instrumen ekuitas entitas lain”
Selain itu, definisi
tersebut mencakup :
a.Aset keuangan, adalah
setiap aset yang berbentuk :
- Kas
- Instrumen ekuitas milik entitas
lain
- Hak kontraktual
- Untuk mempertukarkan aset keuangan
atau kewajiban keuangan dengan kondisi yang berpotensi menguntungkan
entitas tersebut, atau
- Untuk menerima kas atau aset
keuangan lainnya dari entitas lain
- Kontrak yang akan atu mungkin
diselesaikan dengan mengguanakan instrumen ekuitas milik entitas yang
bersangkutan dan merupakan suatu:
- Non derivatif dalam hal entitas
harus atau mungkin diwajibkan untuk menerima suatu jumlah yang variabel
(variable number) dan instrumen keuangan milik entitas, atau
- Derivatif yang akan atau mungkin
diselesaikan selain dengan mempertukarkan sejumlah tertentu kas atau
aset keuangan lain untuk suatu jumlah yang ditetapkan (fixed amount) dari
instrumen ekuitas milik entitas.
b.Kewajiban keuangan,
setiap kewajiban berupa :
- Kewajiban
kontraktual
1.
Untuk menyerahkan kas
atau aset keuangan lain kepada entitas lain; atau
2.
Untuk mempertukarkan aset
keuangan atau kewajiban keuangna dengan entitas lain dengan kondisi yang
berpotensi merugikan entitas tersebut Kontrak yang akan atau mungkin
disesuaikan dengan menggunakan instrumen ekuitas milik entitas yang
bersangkutan dan merupakan suatu
3. Non-derivatif dalam hal entitas harus atau mungkin diwajibkan
untuk menyerahkan suatu jumlah yang variabel (variabel number) dan instrumen
ekuitas milik entitas ; atau
4. Derivatif yang akan atau mungkin diselesaikan selain dengan
mempertukarkan sejumlah tertentu kas atau aset keuangan lain untuk suatu
jumlah yang ditetapkan (fixed amount) dari instrumen ekuitas milik entitas
c.
Instrumen ekuitas, adalh setiap kontrak yang memberikan hak residual atas aset
entitas setelah dikurangkan dengan seluruh kewajibannya.
Definisi instrumen keuangan/
efek pada PSAK No. 50 (1998) lebih mengacu kepada macam-macam instrumen
keuangan itu sendiri, seperti surat pengakuan utang, saham, obligasi dan
sebagainya. Sedangkan PSAK No. 50 (revisi 2006) lebih menekankan
pada pengertian “kontrak” sehingga memiliki cakupan pengertian instrumen
keuangan yang lebih luas. Sebagai contohnya piutang (receivable), jika mengacu pada PSAK No. 50 (1998),
maka piutang (receivable) ini tidak termasuk dalam kategori efek.
Sedangkan apabila memakai acuan PSAK No. 50 (revisi 2006), piutang ini masuk ke
dalam instrumen keuangan. Hal ini disebabkan karena bagi pihak yang memberikan
piutang, maka nilai Assetnya bertambah dan bagi yang berhutang nilai
kewajibannya bertambah. Hal ini memenuhi pengertian instrumen keuangan menurut
PSAK No. 50 (revisi 2006).
Pada ED PSAK No. 50
(revisi 2010), definisinya tidak banyak berubah dari definisi PSAK 50
tahun 2006, tetapi ada tambahan yaitu mengenai Instrumen yang mempunyai fitur
opsi jual (puttable instrument). (Puttable instrument) adalah
instrumen keuangan yang memberikan
hak kepada pemegangnya untuk menjual kembali instrumen
kepada penerbit dan memperoleh kas atau aset keuangan lain
atau secara otomatis menjual kembali kepada penerbit pada
saat terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti di masa yang
akan datang atau kematian atau purna karya dari pemegang
instrumen.
Sebelumnya, hal ini tidak
ada pada PSAK 50 tahun 2006. Untuk selanjutnya bahasan akan kita persempit pada
PSAK No. 50 (1998) dan PSAK No. 55 (1999) serta PSAK No. 50 & 55 (revisi
2006) saja karena PSAK inilah yang sedang diterapkan di Indonesia sekarang ini.
b) Klasifikasi (classification)
PSAK No. 50 (1998)
mengklasifikasikan instrumen keuangan (istilah dalam PSAK ini adalah efek) ke
dalam salah satu dari tiga kelompok berikut ini :
i.
Dimiliki hingga jatuh
tempo (Held to maturity)
ii.
Diperdagangkan (trading)
iii.
Tersedia untuk dijual (available for sale)
Bila dilihat pada
PSAK ini, maka klasifikasi tersebut sama dengan yang di atur dalam US
GAAP.Sedangkan menurut pencatatannya pada neraca, PSAK 50 (revisi 2006)
paragraf 7 mengklasifikasikan instrumen keuangan ke dalam empat kategori :
1.
Aset keuangan atau kewajiban keuangan yang dinilai pada nilai wajar melalui
laporan laba rugi (financial asset at fair value through profit
or loss/FVTPL) dengan kriteria :
a)
Untuk diperdagangkan (trading), termasuk instrumen
derivatif (kecuali derivatif yang ditetapkan sebagai instrumen lindung nilai
dan efektif)
b)
Ditetapkan (designated)
2. Investasi yang
dimiliki hingga jatuh tempo (Held to maturity/HTM),
dengan kriteria:
a) Aset
keuangan non-derivatif
b)
Pembayaran tetap/telah ditentukan
c)
Jatuh tempo telah ditetapkan
d) Entitas
memiliki maksud dan kemampuan untuk memiliki hingga jatuh tempo
3. Pinjaman
yang diberikan dan piutang (Loan and Receivable/ L&R),
dengan kriteria yang sama dengan HTM hanya saja tidak memiliki kuotasi di pasar
aktif (quoted market)
4. Aset keuangan
tersedia untuk dijual (Available for sale / AFS), dengan
kriteria
a) Aset
keuangan non-derivatif
b)
Ditetapkan sebagai AFS
c)
Tidak diklasifikasikan sebagai FVTPL, L&R dan HTM
Kategori yang berbeda
dengan PSAK 1998 adalah Loan and Receivable. Dengan
adanya PSAK No. 50 (revisi 2006) inilah maka Pinjaman dan deposit di industri
perbankan memenuhi kriteria sebagai Instrumen Keuangan dan harus diperlakukan
dengan memenuhi syarat-syarat dalam PSAK No. 50 (revisi 2006).
c. Pengakuan (Recognition)
Pengakuan atas instrumen
keuangan disesuaikan dengan klasifikasi yang telah penulis jelaskan di atas,
Jadi, apabila mengacu kepada PSAK No. 50 (1998), maka diakui ke dalam salah
satu dari 3 kategori Held to Maturity, trading dan
Available for Sale dimana mengklasifikasikan instrumen keuangan
tersebut lebih kepada menurut penyajiannya dalam neraca.
PSAK No. 50 (revisi 2006)
melakukan pengklasifikasian berdasarkan pengakuan dan pengukurannya yaitu
berdasar jangka waktu suatu aset keuangan akan dimiliki ataupun jangka waktu
tempo untuk kewajiban keuangan.
d. Penghentian
Pengakuan (Derecognition)
Instrumen keuangan
bukanlah instrumen yang akan terus ada di dalam Balance
sheet. Ia dapat dikeluarkan dari Balance Sheet jika
terjadi beberapa kondisi seperti :
– jatuh tempo
– pemutusan kontrak
– transfer jual
beli instrumen keuangan
PSAK tahun 1998 sedikit
sekali membahas mengenai penghentian pengakuan. PSAK No. 55 (revisi 2006)
banyak memberikan penekanan pada “keterlibatan berkelanjutan” atau continuing involvement jika terjadi transfer aset
keuangan. Yakni apakah seluruh resiko dan manfaat secara substansial juga telah
ditransfer, dan juga apakah pengendalian terhadan instrumen keuangan tersebut
masih dimiliki atau tidak.
Sebagai contoh pada kasus
perjanjian pembelian kembali atau repurchase agreement,
dimana perusahaan menjual financial asset dengan
perjanjian bahwa financial asset tersebut akan
dibeli kembali pada harga yang ditetapkan atau pada harga jual semula ditambah
keuntungan. Pada kasus tersebut walaupun terjadi transfer financial asset dan juga arus kas ata aset yang
ditransfer, perusahaaan masih memiliki kontrol terhadap financial asset yang ditransfer melalui hak
membelifinancial asset tersebut kembali. Karena hal
tersebut, maka financial asset yang telah
ditransfer tersebut masih tetap dicatat di Balance sheet..
Walaupun sebuah entitas
masih memiliki hak kontraktual untuk menerima arus kas dari financial asset, entitas tersebut masih dapat mengakui
adanya transfer keuangan jika dia memiliki kewajiban kontraktual untuk membayar
arus kas yang diterima tersebut kepada satu atau pihak lain sesuai kesepakatan
dan memenuhi syarat sebagaimana yang telah dijelaskan pada PSAK No. 55 (revisi
2006) paragraf 16. Transaksi ini tidak diatur pada PSAK No. 50 (1998), dan oleh
IAS diistilahkan sebagai “pass trough arrengement”.
Transaksi ini biasanya ditemui pada sekuritisasi ataupun spesial purpose entities (SPE).
Contoh kasus :
Transfer
of financial asset yang tidak
memenuhi derecognition (penghentian pengakuan) :
PT A menjual instrumen
utang yang diterbitkan oleh PT B dengan harga Rp 5.000.000 dan memberikan
jaminan atas default asses atas instrumen
utang yang dijual tersebut. Hakikatnya PT A tetap menahan hampir seluruh resiko
dan manfaat dari instrumen tersebut sehingga tidak dapat diperlakukan sebagai
pelepasan asset. Di sisi lain perusahaan akan mengakui kewajiban. Jurnal yang
dibuat PT A:
Cash
5.000.000
Financial
Liabilities
5.000.000
e. Pengukuran
(Measurement)
PSAK No. 55 (revisi 2006)
tentang Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran telah
banyak mengadopsi IAS 39 dibandingkan PSAK No. 55 (1999). Ada perbedaan yang
mendasar pada pengukuran awal (initial measurement) antara
PSAK 55 (1998) dengan PSAK 55 (revisi 2006). Sebelumnya, semua instrumen
keuangan dikur pada pengukuran awal sebesar historical cost, namun
menurut PSAK No. 55 (revisi 2006), pengukuran nilai awal instrumen keuangan
berdasarkan fair value-nya. Khusus untuk Held to Maturity, fair value tersebut
ditambah dengan biaya-biaya yang berhubungan langsung dengan akuisisi ataupun
penerbitan instrumen keuangan tersebut.
Sebagai contohnya,
misalkan PT. A menerima pinjaman dari PT. B sebesar 10 juta tanpa bunga selama
5 tahun. Pada kasus ini pinjaman tersebut termasuk kategori Loan and Receivable. Pada saat terjadi transaksi, market rate untuk pinjaman 5 tahun yang serupa
adalah 10 %. Dengan mendiskontokan jumlah pinjaman tersebut dengan tingkat
bunga 10 %, maka balance sheet perusahaan A akan mencatat pinjaman awal sebesar
Rp 6.210.000, bukan Rp 10.000.000.
Perbandingan pengukuran
dan pengakuan gain atau loss dapat dilihat dari perbandingan PSAK No. 50
(1998) dengan PSAK No. 50 (revisi 2006) secara ringkas pada tabel di
bawah ini :
Perbandingan
pengukuran menurut PSAK No. 50 (1998) dengan PSAK No. 50 (revisi 2006)
Jenis
|
PSAK 50 1998
|
PSAK 55 revisi 2006
|
FVTPL
|
1. pengukuran awal berdasarkan cost(biaya)
2. pengukuran
selanjutnya berdasarkan
fair value
3.gain atau loss yang
belum direalisasi atas efek kategori trading harus diakui sebagi income.
|
|
HTM
|
1. Pengukuran awal
berdasarkan cost
2. Pengukuran
selanjutnya berdasaramortized cost
|
|
L&R
|
Tidak diklasifikasikan
|
|
AFS
|
3. gain atau loss yang
belum direalisasi atas AFS (termasuk efek yang diklasifikasikan sebagai curret asset) harus dimasukkan sebagai komponen
ekuitas yang disajikan terpisah, dan tidak boleh diakui sebgai income
sampai gain atau loss tersebut
dapat direalisasi.
|
|
Sumber : PSAK 50 (1998)
dan PSAK (revisi 2006)
Fair
value merupakan nilai yang didapat seolah-olah
terjadi pertukaran aset atau penyelesaian kewajiban. Salah satu hal baru yang
ada pada PSAK 55 (revisi 2006) ialah aturan mengenai fair value optio). Jika pada PSAK 50 (1998) instrumen
keuangan yang diukur dengan nilai wajar hanya instrumen keuangan dengan tujuan
untuk diperdagangkan. Dengan pilihan nilai wajar, perusahaan diperbolehkan
untuk menetapkan (designated) instrumen keuangan
diluar untuk keperluan trading, sebagai fair value through profit or loss (FVTPL), kecuali
instrumen ekuitas yang tidak memiliki kuotasi harga pasar di pasar aktif, dan
yang nilai wajarnya tidak dapatdiukur secara handal (PSAK No. 55 (revisi 2006)
par 8).
Masalah penentuan fair value, untuk instrumen yang memiliki kuotasi di
pasar aktif seperti FVTPL, tentunya mudah untuk menentukan fair valuenya, namun apabila tidak memiliki pasar
aktif fair value seperti itu tidak akan didapat. PSAK
No. 55 (revisi 2006) AP 86 dan 89 mengatur mengenai pengukuran instrumen yang
tidak mempunyai pasar aktif dengan teknik penilaian :
- Penggunaan transaksi pasar terkini
yang dilakukan secara wajar oleh pihak-pihak yang memahami, berkeinginan (arm’s length market transaction)
- Nilai wajar terkini instrumen lain
yang secra substansial sama
- Analisis discounted cah flow
- Penggunaan option pricings model
f. Reklasifikasi (Reclassification)
Salah satu bentuk
kedisiplinan IAS yang diadopsi oleh PSAK No. 50&55 (revisi 2006) adalah
dalam masalah reklasifikasi ini. Pada PSAK No. 50 (1998) tidak memberikan
larangan mengenai pengklasifikasian ulang instrumen keuangan yang sebelumnya
telah direklasifikasi. Hal ini memungkinkan adanya moral hazard oleh manajemen perusahaan dengan
mereklasifikasi instrumen keuangannya untuk tujuan pemerataan laba atau income smoothing.
Sebagai contoh ketika
instrumen keuangan yang sebelumnya termasuk dalam HTM ataupun AFS, fair
valuenya meningkat, menajemen kemudian mereklasifikasi instrumen keuangan
sebagai “trading” agar gain yang
dihasilkan dari peningkatan fair value tersebut
dapat langsung diakui di income statement sehingga
laba akan ‘seolah-olah’ meningkat.
PSAK No. 55 (revisi 2006)
yang mengatur lebih ketat masalah reklasifiksi ini. Ada tiga aturan baru
reklasifikasi menurut PSAK ini :
- i.
Reklasifikasi dari kelompok klasifikasi manapun DARI atau KE FVTPL tidak
diperbolehkan
- ii.
Reklasifikasi Loan and Receivable DARI
atau KE HTM dan FVTPL tidak diperbolehkan
- iii.
Reklasifikasi dari AFS menjadi Loan and Receivable tidak
diperbolehkan
Selain itu, terdapat ‘tainting rule’ yaitu larangan untuk
mengklasifikasikan HTM selama 2 tahun jika entitas bermaksud menjual atau
mereklasifikasi investasi HTM dalam jumlah pokok yang signifikan, kecuali jika
sudah mendekati jatuh tempo, jumlah pokok hutang hampir seluruhnya tertagih
atau ada kejadian tertentu di luar kendali.
g. Penurunan
Nilai (Impairment)
PSAK No. 50 (1998) tidak
memberikan panduan yang jelas tentang indikator-indikator penurunan nilai untuk
instrumen keuangan. PSAk 50 (1998) menyebutkan bahwa biaya perolehan yang
diturunkan nilainya tidak dapat diubah lagi. Mengenai apakah nilai tersebut
dapat direstorasi lagi tidak disebutkan dalam PSAK ini.
Sedangkan jika
dibandingkan dengan PSAK 50 (1998), PSAK 55 (revisi 2006) memberikan penekanan
lebih pada ’bukti objektif (objective evidance)’
yang menjadi dasar daripenurunan nilai tersebut (paragraf 60) dan juga
penekanan bahwa evaluasi akan adanya penurunan tersebut harus dilakukan pada
setiap tanggal neraca (paragraf 59). Sebagai contohnya instrumen keuangan
jenis FVTPL akan dinyatakan turun nilainya berdasarkan PSAK 55 (revisi
2006)apabila pasar aktif instrumen tersebut hilang karena kesulitan keuangan.
Selain itu, untuk masalh
restorasi nilai yangditurunkan, diatur lebih jelas dalam PSAK revisian ini
seperti pada tabel di bawah ini :
Aturan Pemulihan (restorasi)
Nilai pada Penurunan Nilai (impairment)
|
|
Klasifikasi
|
Perlakuan
|
FVTPL
|
Pada FVTPL tidak berlaku penurunan
nilai (impairment) karena
sudah dinilai
dengan nilai wajar
|
HTM
|
kerugian karena penurunan nilai dapat
dipulihkan
|
L&R
|
kerugian karena penurunan nilai dapat
dipulihkan
|
AFS
|
kerugian karena penurunan nilai
instrumen ekuitas sebagai AFS tidak
dapat dipulihkan,
sedangkan untuk instrumen hutang kerugian
penurunan nilai
dapat dipulihkan
|
h. Instrumen
Keuangan Derivatif
Baik PSAK 55 (1999)
maupun PSAK 50 (revisi 2006) memiliki definisi yang
kurang lebih sama
mengenai instrumen derivatif, yakni PSAK No. 50 (revisi 2006)
Suatu
instrumen keuangan atau kontrak lain dengan tiga karakteristik sebagai
berikut:
a)
Nilainya berubah sebagai akibat dari perubahan dalam suku bunga, harga
instrumen
keuangan, harga komoditas, nilai tukar mata uang asing, indeks
harga
atau indeks suku bunga, peringkat kredit atau indeks kredit, atau variabel
lainnya
yang telah ditentukan sepanjang untuk variabel non keuangan bukan
merupakan
variabel yang ditentukan secara khusus bagi para pihak dalam
kontrak
tersebut (sering disebut sebagai variabel yang mendasari),
b)
Tidak memerlukan investasi awal neto atau memerlukan investasi awal neto
dalam
jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah yang dibutuhkan
untuk
kontrak sejenis lainnya yang diperkirakan akan menghasilkan pengaruh
yang
sama terhadap perubahan faktor pasar,
d) Diselesaikan
pada tangal tertentu dimasa mendatang
- i. Pengungkapan
PSAK 50 (1998) dan 55
(1999):hanya mengatur pengungkapan sesuai dengan ruang lingkup dari setiap PSAK
tersebut. Sementara PSAK 50 (revisi 2006) mengatur pengungkapan untuk seluruh
instrumen derivatif dengan rinci.
Yang harus diungkapkan
dalam laporan keuangan meliputi :
1. Format,
Tempat dan Klasifikasi Instrumen Keuangan
– Pernyataan
ini tidak mengatur format dari informasi yang dipersyaratka untuk diungkapkan
atau tempatnya dalamlaporan keuangan.
– Pengungkapan
dapat berbentuk kombinasi dari penjelasan naratif dan kuantitatif, sepanjang
dianggap memadai untuk mengungkapkan karakteristik instrumen dimaksud serta
arti pentingnya bagi entitas.
– Manajemen
entitas mengklasifikasikan instrumen keuangan dalam beberapa kelompok sesuai
sifat dari informasi yang diungkapkan, dengan mempertimbangkan beberapa hal
seperti karakteristik instrumen tersebut dan dasar pengukuran yang telah
digunakan.
2. Kebijakan
Manajemen Risiko dan Aktivitas Lindung Nilai
– Mengungkapkan
tujuan dan kebijakan manajemen risiko keuangan termasuk kebijakan lindung
nilainya. Penjelasan kebijakan manajemen risiko harus memuat kebijakan yang
menyangkut hal-hal seperti lindung nilai atas eksposur risiko, upaya
penghindaran konsentrasi risiko yang berlebihan, dan persyaratan mengenai
agunan guna mengurangi risiko kredit.
–
Menjelaskan sejauh mana suatu instrumen keuangan digunakan, risiko yang terkait
dan sasaran usaha yang ingin dicapai.
– Untuk
lindung nilai atas nilai wajar, lindung nilai atas arus kas, dan lindung nilai
atas investasi bersih dalam operasi di luar negeri, pengungkapan terpisah
secara lebih spesifik dan terperinci harus dilakukan
3.Persyaratan, Kondisi
dan Kebijakan Akuntansi
– Untuk tiap
kelompok aktiva finansial, kewajiban finansial, dan instrumen ekuitas, entitas
harus mengungkapkan:
• informasi mengenai
cakupan dan sifat instrumen keuangan, termasuk persyaratan dan kondisi yang
bersifat signifikan yang dapat mempengaruhi jumlah, waktu, dan tingkat
kepastian arus kas di masa datang;dan
• Kebijakandan metode
akuntansi yang digunakan, termasuk kriteria pengakuan dan dasar
pengukuran yang diterapkan.
–
Pengungkapan untuk setiap kategori aset keuangan apakah pembelian dan penjualan
aset keuangan dicatat pada tanggal perdagangan atau pada tanggal penyelesaian.
–
Jika instrumen keuangan bersifat signifikan, maka seluruh persyaratan dan
kondisi instrumen tersebut harus diungkapkan.
4. Risiko Tingkat Bunga
– Informasi
mengenai eksposur risiko tingkat bunga, termasuk: :
• tanggal penilaian ulang
(repricing) atau tanggal jatuh tempo kontraktual, mana yang lebih
dahulu;dan
• tingkat bunga efektif,
jika tersedia.
–
Mengindikasikan aset keuangan dan liabilitas
keuangan mana yang:
• terekspos risiko
tingkat bunga atas nilai wajar,
• terekspos risiko
tingkat bunga atas arus kas, dan
• tidak secara langsung
terekspos terhadap risiko tingkat bunga (misal
instrumen ekuitas).
–
Pengungkapan suku bunga efektif berlaku untuk obligasi, notes, pinjaman, dan
instrumen keuangan sejenis yang melibatkan pembayaran di masa datang yang
mencerminkan nilai waktu dari uang.
–
Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi instrumen keuangan seperti investasi
dalam instrumen ekuitas dan instrumen derivatif yang tingkat bunga efektifnya
tidak dapat ditentukan.
5. Risiko Kredit
– Mengungkapkan
informasi mengenai eksposur risiko kredit, termasuk:
• jumlah yang paling
mewakili eksposur risiko kredit maksimal apabila pihak lawan tidak mampu
memenuhi kewajibannya, tanpa memperhitungkan nilai wajar dari agunan; dan
• konsentrasi risiko
kredit yang bersifat signifikan
–
Aset keuangan dengan hak saling hapus dengan liabilitas keuangan, tidak boleh
disajikan neto dalam neraca, kecuali penyelesaian akan dilakukan secara neto
atau secara bersamaan. Namun demikian, entitas mengungkapkan keberadaan hak
secara hukum untuk melakukan saling hapus ketika menyajikan informasi seperti
yang dipersyaratkan di atas.
6. Nilai wajar
–
mengungkapkan nilai wajar tiap kelompok aset dan liabilitas dalam cara yang
memungkinkan untuk diperbandingkan dengan nilai tercatat dalam Neraca.
– Jika
entitas tidak mengukur instrumen keuangan di neraca pada nilai wajar, maka
entitas wajib menyediakan informasi nilai wajar pada pengungkapan tambahan
– Jika investasi
dalam instrumen ekuitas atau derivatif yang terkait tidak memiliki kuotasi,
maka instrumen tersebut diukur pada biaya perolehan berdasarkan Pernyataan ini.
Fakta ini harus diungkapkan bersamaan dengan penjelasan instrumen keuangan
tersebut, nilai tercatatnya, dan penjelasan mengapa nilai wajarnya tidak dapat
diukur secara andal, dan jika memungkinkan, kisaran dari estimasi nilai wajar
yang paling memungkinkan.
7. Pengungkapan Lainnya
Pengungkapan lainnya
mengenai :
(a)
Penghentian pengakuan
(b) Jaminan
(c)
Instrumen Keuangan Majemuk dengan Beberapa
(d) Derivatif
Melekat
(e)
Instrumen Keuangan pada Nilai Wajar
(f)
Reklasifikasi/Penggolongan Kembali
(g) Laporan
Laba Rugi dan Ekuitas
(h) Penurunan
Nilai
(i)
Wanprestasi dan Pelanggaran
2. PENERAPANNYA
pada industri perbankan
Seperti yang telah
penulis jelaskan di atas PSAK No 50 (Revisi 2006) tentang Penyajian dan Pengungkapan Instrumen Keuangan dan
PSAK No 55 (Revisi 2006) tentang Pengakuan dan Pengukuran
Instrumen Keuangan seharusnya sudah mulai diberlakukan pada 1
Januari 2009, namun karena terjadi krisis global dan keberatan yang diajukan
oleh bank-bank di Indonesia menyebabkan pemberlakuannya diundur hingga 1
Januari 2010 dan diadopsi penuh pada 31 Desember 2010.
Keberatan ini dapat
disebabkan akibat perubahan aturan-aturan akuntansi yang harus dipatuhi pada
PSAK No. 50 (revisi 2006) setelah sebelumnya industri perbankan menggunakan
PSAK No. 50 (1998). Setelah pada bagian pertama pembahasan di atas penulis
telah memberikan beberapa perubahan aturan akuntansi dari PSAK No. 50 (1998)
menjadi PSAK No. 50 (revisi 2006), maka berikut ini akan penulis jelaskan
mengenai permasalahan-permasalahan yang timbul akibat pemberlakuan PSAK No. 50
(revisi 2006) sebagai pengganti PSAK No. 50 (1998) di industri perbankan
Indonesia.
- a. Masalah
Penyisihan Kerugian Kredit (Loan-Loss Provisioning)
atau Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CPKN)
Penyisihan kerugian
kredit (Loan-Loss Provisioning) adalah
penyisihan (provisioning)kerugian atas portfolio kredit dan
pendanaanya yang mengalami penurunan nilai ekonomi. Nilai ekonomi dari
portfolio kredit dan pendanaannya (funding) dapat naik
atau turun disebabkan karena adanya perubahan dengan kualitas kredit yaitu
jika terjadi masalah terhadap itikad baik (willingness to pay)
dan kemampuan debitur untuk melunasi kredit beserta pinjamannya(ability to pay).Penyisihan kerugian ini penting untuk
dilakukan sehingga laporan keuangan bank tersebut mencerminkan keadaan yang
sebenarnya(representation faithfullness).
Selama ini dengan mengacu
pada PSAK yang lama, penentuan cadangan memakai konsep ekspektasi kerugian
kredit (expectation loss) sehingga bank bisa menumpuk
cadangan besar-besaran kalau bankir merasa default kredit-nya
besar. Celah ini yang banyak dimanfaatkan bank untuk memoles laporan
keuangannya dan melakukan window dressing yaitu
merekayasa laporan keuangan bank untuk tujuan tertentu.
Namun, dengan
diterapkannya PSAK 50 & 55 (revisi 2006) dan Pedoman Akuntansi Perbankan
Indonesia (PAPI) tahun 2008 yang menyesuaikan PSAK tersebut, bank dituntut
untuk menentukan CPKN berdasarkan data historis kerugian kredit yang sudah
terjadi atau incurred loss. Adapun CKPN dihitung
dari perkalian beberapa komponen, yakni potensi gagal bayar (potential of default) dikalikan jumlah kredit yang
bersangkutan. Komponen lainnya loss given default (LGD) yang
merupakan porsi kerugian riil akibat gagal bayar yang benar-benar tak tertagih,
di luar tingkat kembalian tagihan (recovery rate). Potential of default yang dihitung dari pengalaman
kerugian yang sudah terjadi berdasarkan data historis setiap jenis kredit bank
tersebut minimal selama 3 tahun terakhir
Selain itu, walaupun bank
dapat mengakui adanya penurunan nilai karena pailit walaupun masih dalam
’kemungkinan’, tapi tidak bisa dikatakan sebagai ’expected loss’ karena PSAK 55 (revisi 2006)
mensyaratkan bukti’objektif’ itu harus ada. Jika penyisihan diakui ketika bukti
objektif ada walaupun secara riil belum diakui adanya kerugiaan (loss) tetap dikatakan sebagai’incurred loss’.
Kesulitan yang dialami
bank dalam penentuan CPKN ini adalah tuntuan kepada bank untuk mempunyai data
historis mengenai pengalaman kerugian dari setiap jenis kredit bank, minimal 3
tahun. Bank dituntut untuk mempunyai data mengenai jumlah tingkat kerugian
suatu kredit dari setiap nasabah. Dan untuk mendapatkan data ini, cukup
rumit karena banyaknya jenis kredit dan jangka waktu yang berbeda
b. Standar baru ini dapat
mengurangi sumber pendapatan bunga bank karena :
- Pendapatan provisi dan komisi
kredit kini menjadi pengurang dari nilai kredit yang diberikan guna
menghitung pendapatan bunga efektif
- Bunga surat berharga misalnya
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tidak boleh masuk sebagai pendapatan
operasional bunga. Reklasifikasi bunga SBI ini berdampak pada bank
yang banyak menempatkan dananya di luar kredit dengan ciri
rasio pinjaman terhadap dana (LDR)- nya yang relatif kecil.
- Kredit sebagai asset bank
digolongkan pada “Loan and Receivables” yang mana valuasinya adalah dengan
cara amortized cost, hal ini membawa
konsekuensi bahwa nilai kredit (dalam hal ini asset bank) akan dipengaruhi
oleh proyeksi cashflow dari
asset tersebut, sehingga kredit yang dikenakan bunga dibawah bunga pasar
akan terdiskon menjadi lebih kecil dari harga perolehannya (kredit yang dikucurkan)
c. Penerapan PSAK 50 dan
PSAK 55 membutuhkan sistem dan persiapan yang cukup lama karena harus
menggabungkan semua laporan keuangan dalam satu paket. Dari sisi investasi,
paling sedikit setiap bank harus mengeluarkan dan sebesar US$1 juta untuk membeli
sistem informasi dan teknologi untuk aplikasi pelaporan keuangan berdasarkan
PSAK No. 50 & 55 (revisi 2006). (redaksi@bisnis.co.id)
d. Selain masalah
teknologi, Sumber Daya Manusia yang menguasai mengenai PSAK ini juga terbatas,
jadi akan menambah masalah bagi perbankan untuk penerapan PSAK ini.
Hal- hal diatas yang
kiranya merupakan alasan mengapa industri perbankan Indonesia mengalami
kesulitan menerapkan PSAK No. 50 & 55 (revisi 2006) ini hingga tahun 2010.
Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwasanya banyak manfaat dan
kelebihan implementasi PSAK No. 50 & 55 (revisi 2006). Manfaat dan
kelebihan tersebut adalah sebagai berikut.
- Dengan
adanya standar akuntansi Indonesia yang mengacu pada standar Internasional
ini, akan meningkatkan keandalan, keterbandingan dan representative faithfullnes.
- Transparansi
terhadap pelaporan keuangan bank akan meningkat. Transparansi ini sangat
urgent, mengingat kasus atas jatuhnya raksasa finansial Lehman Brothers
saat krisis menghantam tahun 2008 silam yang diindikasi karena adanya
aspek akuntansi atas transaksi repo yang kurang wajar karena kurangnya
transparansi. Hal tersebut berarti bahwa dengan meningkatkan transparansi
laporan keuangan, maka kecurangan-kecurangan akan dapat diminimalisir.
Selain itu, aturan –aturan baru pada PSAK revisian mempersempit
kemungkinan adanya kecurangan. Seperti pada contoh yang dijelaskan di
atas, yaitu masalah reklasifikasi dari dan ke kategori “FVTPL”dari
kategori manapun dilarang, untuk menghindari usaha untuk menaikkan laba.
Selain itu, adanya aturan yang tegas mengenai penentuan CPKN akan
mengurangi kesempatan manajemen bank untuk melakukan kecurangan
seperti window dressing. Bila dulu
bank dapat menumpuk pencadangan besar dengan alasan kehati-hatian, meski
kualitas kredit tidak mengkhawatirkan sehingga laba ikut turun.
Tujuannya menghindari pajak atau mengatur ritme kinerja. Namun dengan
diberlakukan PSAK revisian ini, bank tidak bisa lagi melakukan hal itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Ikatan Akuntansi
Indonesia. 1994. Standar Akuntansi Keuangan (SAK), Kerangka Dasar Penyusunan
dan Penyajian Laporan Keungan
Ikatan Akuntansi
Indonesia. 2006. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No 50 (revisi
2006), Instrumen Keuangan.
Ikatan Akuntansi
Indonesia. 2006. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No 50 (revisi
2006), Instrumen Keuangan.
Ikatan Akuntansi
Indonesia. 2010. Exposure Draft (ED) Pernyataan Standar Akuntnasi Keuangan
(PSAK) No 50 (revisi 2010).
Ikatan Akuntansi
Indonesia. 2010. Exposure Draft (ED) Pernyataan Standar Akuntnasi Keuangan
(PSAK) No 60 (revisi 2010).