Minggu, 16 November 2014
Sabtu, 15 November 2014
Tugas 13 Bahasa Indonesia 2
Audit
Forensik
Pengertian Audit Forensik
Audit Forensik terdiri dari dua kata,
yaitu audit dan forensik. Audit adalah tindakan untuk membandingkan kesesuaian
antara kondisi dan kriteria. Sementara forensik adalah segala hal yang bisa
diperdebatkan di muka hukum / pengadilan.
Menurut Association of Certified
Fraud Examiners (ACFE), forensic accounting / auditing merujuk kepada fraud
examination. Dengan kata lain keduanya merupakan hal yang sama, yaitu:
“Forensic
accounting is the application of accounting, auditing, and investigative skills
to provide quantitative financial
information about matters before the courts.”
Menurut D. Larry Crumbley,
editor-in-chief dari Journal of Forensic Accounting (JFA) “Akuntansi forensik
adalah akuntansi yang akurat (cocok) untuk tujuan hukum. Artinya, akuntansi
yang dapat bertahan dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan, atau
dalam proses peninjauan judicial atau administratif”.
Dengan demikian, Audit Forensik bisa
didefinisikan sebagai tindakan menganalisa dan membandingkan antara kondisi di
lapangan dengan criteria, untuk menghasilkan informasi atau bukti kuantitatif
yang bisa digunakan di muka pengadilan.
Karena sifat dasar dari audit
forensik yang berfungsi untuk memberikan bukti di muka pengadilan, maka fungsi
utama dari audit forensik adalah untuk melakukan audit investigasi terhadap
tindak kriminal dan untuk memberikan keterangan saksi ahli (litigation support)
di pengadilan.
Audit Forensik dapat bersifat
proaktif maupun reaktif. Proaktif artinya audit forensik digunakan untuk
mendeteksi kemungkinan-kemungkinan risiko terjadinya fraud atau kecurangan.
Sementara itu, reaktif artinya audit akan dilakukan ketika ada indikasi (bukti)
awal terjadinya fraud. Audit tersebut akan menghasilkan “red flag” atau sinyal
atas ketidakberesan. Dalam hal ini, audit forensik yang lebih mendalam dan
investigatif akan dilakukan.
Tugas 12 Bahasa Indonesia 2
Perbedaan
Pajak Pasal 21, 22, dan 23
PPh pasal 21
PPh
pasal 21 adalah pasal yang mengatur pajak yang dikenakan terhadap penghasilan
yang diterima dari pekerjaan / jasa baik dalam hubungan kerja maupun dari
pekerjaan bebas oleh WP perorangan dalam negeri.
Subjek
pajak PPh pasal 21 adalah :
1. Pegawai
2. Penerima pensiun
3. Penerima honorarium
4. Penerima upah
5. Orang pribadi lainnya yang menerima /
memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan dari
pemotong pajak.
Pengecualian
subjek pajak :
1. Pejabat perwakilan diplomatik beserta staf
2. Pejabat perwakilan organisasi internasional
beserta staf.
Pengecualian
objek pajak PPh pasal 21 :
1. Pembayaran asuransi dari perusahaan
asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, beasiswa
2. Penerimaan dalam bentuk natura dan atau
keenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh WP atau pemerintah
3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana
pensiun yang pendirian telah disyahkan oleh menkeu atau iuran THT kepada badan
penyelenggra jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja
4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang
berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah.
PPh pasal 22
PPh
pasal 22 membahas tentang penghasilan yang berasal dari penjualan pada instansi
pemerintah, impor, dan industri tertentu (industri rokok, industri kertas,
industri otomotif, industri semen, industri baja, Pertamina Bulog untuk tepung
terigu dan gula pasir).
Tarif
PPh pasal 22 atas penjualan instansi pemerintah :
PPh
pasal 22 bendaharawan = 1,5% x nilai penjualan
Tarif
PPh pasal 22 atas impor :
1. Bila importir memiliki API (Angka Pengenal
Impor)
PPh
pasal 22 impor = 2,5% x nilai impor
2. Bila importir tidak memiliki API
PPh
pasal 22 impor = 7,5% x nilai impor
PPh pasal 23
PPh
pasal 23 membahas tentang penghasilan yang diperoleh dari penggunaan harta atau
modal (deviden, bunga, royalti, hadiah penghargaan, sewa, dan jasa).
1. Deviden, royalti, bunga, hadiah
penghargaan
PPh
pasal 23 = 15% x penghasilan bruto
2. Sewa dan jasa
PPh
pasal 23 = 2% x penghasilan bruto
Sumber
: http://eriksilalahi.blogspot.com/2013/03/pengertian-pph-pasal-21-22-23-24-25-dan.html
Tugas 11 Bahasa Indonesia 2
KODE
ETIK AUDITOR ANTARA KONSEP DAN KENYATAAN
Definisi
Etika
Etika
(praksis) diartikan sebagai nilai-nilai
atau norma-norma moral yang mendasari perilaku manusia. Etos didefinisikan
sebagai ciri-ciri dari suatu masyarakat atau budaya. Etos kerja,dimaksudkan
sebagai ciri-ciri dari kerja, khususnya pribadi atau kelompok yang melaksanakan
kerja, seperti disiplin, tanggung jawab, dedikasi, integritas, transparansi
dsb.
Etika
(umum) didefinisikan sebagai perangkat prinsip moral atau nilai. Dengan kata
lain, etika merupakan ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan norma moral.
Etika (luas) berarti keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh
masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan
kehidupannya.Etika (sempit) berarti seperangkat nilai atau prinsip moral yang
berfungsi sebagai panduan untuk berbuat, bertindak atau berperilaku. Karena
berfungsi sebagai panduan, prinsip-prinsip moral tersebut juga berfungsi
sebagai kriteria untuk menilai benar/salahnya perbuatan/perilaku.
Kode
Etik
Pengertian
Kode etik adalah nilai-nilai, norma-norma, atau kaidah-kaidah untuk mengatur
perilaku moral dari suatu profesi melalui ketentuan-ketentuan tertulis yg harus
dipenuhi dan ditaati setiap anggota profesi.
Isi
Kode Etik
• Karena kode etik merupakan wujud dari
komitmen moral organisasi, maka kode etik harus berisi :
– mengenai apa yang boleh dan
– apa yang tidak boleh dilakukan oleh
anggota profesi,
– apa yang harus didahulukan dan
– apa yang boleh dikorbankan oleh profesi
ketika menghadapi situasi konflik atau dilematis,
– tujuan dan cita-cita luhur profesi, dan
– bahkan sanksi yang akan dikenakan
kepada anggota profesi yang melanggar kode etik.
Tujuan
Utama Kode Etik
• Terdapat dua tujuan utama dari kode
etik.
– Kode etik bertujuan melindungi
kepentingan masyarakat dari kemungkinan kelalaian, kesalahan atau pelecehan,
baik disengaja maupun tidak disengaja oleh anggota profesi.
– Kode etik bermaksud melindungi
keluhuran profesi dari perilaku perilaku menyimpang oleh anggota profesi.
Syarat
Kode Etik Optimal
• Agar kode etik dapat berfungsi dengan
optimal, minimal ada 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi.
– Kode etik harus dibuat oleh profesinya
sendiri. Kode etik tidak akan efektif apabila ditentukan oleh pemerintah atau
instansi di luar profesi itu.
– Pelaksanaan kode etik harus diawasi
secara terus-menerus. Setiap pelanggaran akan dievaluasi dan diambil tindakan
oleh suatu dewan yang khusus dibentuk.
Peranan
Etika dalam Profesi Auditor
Audit
membutuhkan pengabdian yang besar pada masyarakat dan komitmen moral yang
tinggi. Masyarakat menuntut untuk memperoleh jasa para auditor publik
dengan standar kualitas yang tinggi, dan
menuntut mereka untuk bersedia mengorbankan diri.
Itulah
sebabnya profesi auditor menetapkan standar teknis dan standar etika yang harus
dijadikan panduan oleh para auditor dalam melaksanakan audit
Standar
etika diperlukan bagi profesi audit karena auditor memiliki posisi sebagai
orang kepercayaan dan menghadapi kemungkinan benturan-benturan kepentingan.
Kode
etik atau aturan etika profesi audit menyediakan panduan bagi para auditor
profesional dalam mempertahankan diri dari godaan dan dalam mengambil
keputusan-keputusan sulit. Jika auditor tunduk pada tekanan atau permintaan
tersebut, maka telah terjadi pelanggaran terhadap komitmen pada prinsip-prinsip
etika yang dianut oleh profesi.
Oleh
karena itu, seorang auditor harus selalu memupuk dan menjaga kewaspadaannya
agar tidak mudah takluk pada godaan dan tekanan yang membawanya ke dalam
pelanggaran prinsip-prinsip etika secara umum dan etika profesi. etis yang
tinggi; mampu mengenali situasi-situasi yang mengandung isu-isu etis sehingga
memungkinkannya untuk mengambil keputusan atau tindakan yang tepat.
Pentingnya
Nilai-Nilai Etika dalam Auditing
Beragam
masalah etis berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan auditing. Banyak
auditor menghadapi masalah serius karena mereka melakukan hal-hal kecil yang
tak satu pun tampak mengandung kesalahan serius, namun ternyata hanya
menumpuknya hingga menjadi suatu kesalahan yang besar dan merupakan pelanggaran
serius terhadap kepercayaan yang diberikan.
Untuk
itu pengetahuan akan tanda-tanda peringatan adanya masalah etika akan
memberikan peluang untuk melindungi diri sendiri, dan pada saat yang sama, akan
membangun suasana etis di lingkungan kerja.
Masalah-masalah
etika yang dapat dijumpai oleh auditor yang meliputi permintaan atau tekanan
untuk:
Melaksanakan
tugas yang bukan merupakan kompetensinya
Mengungkapkan
informasi rahasia
Mengkompromikan
integritasnya dengan melakukan pemalsuan, penggelapan, penyuapan dan
sebagainya.
Mendistorsi
obyektivitas dengan menerbitkan laporan-laporan yang menyesatkan.
Dilema
Etika
Dilema
etika adalah situasi yang dihadapi seseorang di mana keputusan mengenai
perilaku yang pantas harus dibuat.
Auditor
banyak menghadapi dilema etika dalam melaksanakan tugasnya. Bernegosiasi dengan
auditan jelas merupakan dilema etika.
Ada
beberapa alternatif pemecahan dilema etika, tetapi harus berhati-hati untuk
menghindari cara yang merupakan rasionalisasi perilaku tidak beretika.
Berikut
ini adalah metode rasionalisasi yang biasanya digunakan bagi perilaku tidak
beretika:
1. Semua orang melakukannya. Argumentasi
yang mendukung penyalahgunaan pelaporan pajak, pelaporan pengadaan barang/jasa
biasanya didasarkan pada rasionalisasi bahwa semua orang melakukan hal yang
sama, oleh karena itu dapat diterima.
2. Jika itu legal, maka itu beretika. Menggunakan
argumentasi bahwa semua perilaku legal adalah beretika sangat berhubungan
dengan ketepatan hukum. Dengan pemikiran ini, tidak ada kewajiban menuntut
kerugian yang telah dilakukan seseorang.
3. Kemungkinan ketahuan dan konsekuensinya.
Pemikiran ini bergantung pada evaluasi hasil temuan seseorang. Umumnya,
seseorang akan memberikan hukuman (konsekuensi) pada temuan tersebut.
Pemecahan
Dilema Etika
• Pendekatan enam langkah berikut ini
merupakan pendekatan sederhana untuk memecahkan dilema etika:
1. Dapatkan fakta-fakta yang relevan
2. Identifikasi isu-isu etika dari
fakta-fakta yang ada
3. Tentukan siapa dan bagaimana orang atau
kelompok yang dipengaruhi oleh dilema etika
4. Identifikasi alternatif-alternatif yang tersedia
bagi orang yang memecahkan dilema etika
5. Identifikasi konsekuensi yang mungkin
timbul dari setiap alternatif
6. Tetapkan tindakan yang tepat.
Kode
Etik Akuntan Indonesia
Etika
profesional bagi praktik akuntan di Indonesia ditetapkan oleh Ikatan Akuntan
Indonesia dan disebut dengan Kode Etik Akuntan Indonesia.
Dalam
hubungan ini perlu diingat bahwa IAI adalah satu-atunya organisasi profesi
akuntan di Indonesia. Anggota IAI meliputi auditor dalam berbagai jenisnya
(auditor independen/publik, auditor intern dan auditor pemerintah), akuntan
manajemen, dan akuntan pendidik. Oleh sebab itu, kode etik IAI berlaku bagi
semua anggota IAI, tidak terbatas pada akuntan anggota IAI yang berpraktik
sebagai akuntan publik.
Kode
Etik Akuntan Indonesia mempunyai struktur seperti kode etik AICPA yang meliputi
prinsip etika, aturan etika dan interpretasi aturan etika yang diikuti dengan
tanya jawab dalam kaitannya dengan interpretasi aturan etika.
Prinsip-prinsip
etika dalam Kode Etik IAI ada 8 (delapan), yaitu:
1. Tanggung Jawab
2. Kepentingan Umum (Publik)
3. Integritas
4. Obyektivitas
5. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
6. Kerahasiaan
7. Perilaku Profesional
8. Standar Teknis
Kode
Etik INTOSAI
• Kode etik INTOSAI terdiri dari:
(1)
integritas,
(2)
independen, obyektif dan tidak memihak,
(3)
kerahasiaan dan
(4)
kompetensi.
• Dalam paragaraf 15 dan 18, INTOSAI
menyatakan bahwa auditor tidak hanya bersifat independen terhadap auditan dan
pihak lainnya, tetapi juga harus obyektif dalam menghadapi berbagai masalah
yang direviu.
Government
Accounting Standards dari US GAO
• Dalam paragraf 1.19, dinyatakan bahwa
dalam melaksanakan tanggung jawab profesionalnya, auditor harus menjaga :
1. integritas,
2. obyektifitas dan
3. independensi.
• Organisasi pemeriksa juga memiliki
tanggung jawab dalam memberikan keyakinan yang memadai bahwa independensi dan obyektifitas dilaksanakan
dalam semua tahap penugasan.
Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) BPK
Berkaitan
dengan independensi, SPKN menyatakannya dalam standar umum kedua, yang berbunyi
“Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi
pemeriksa dan pemeriksa baik pemerintahan maupun akuntan publik, harus bebas
baik dalam sikap mental maupun penampilan dari gangguan pribadi, ekstern dan
organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya.”
Hal
yang berkaitan dengan obyektif dinyatakan dalam paragraph 2.15, yaitu
– “pemeriksa harus obyektif dan bebas
dari benturan kepentingan (conflict of interest) dalam menjalankan tanggung
jawab profesionalnya.
Aturan
Etika Kompartemen Akuntan Sektor Publik
Aturan
etika merupakan penjabaran lebih lanjut dari prinsip-prinsip etika dan
ditetapkan untuk masing-masing kompartemen.
Untuk
akuntan sektor publik, aturan etika ditetapkan oleh IAI Kompartemen Akuntan
Sektor Publik (IAI-KASP).
Sampai
saat ini, aturan etika ini masih dalam bentuk exposure draft, yang
penyusunannya mengacu pada Standard of Professional Practice on Ethics yang
diterbitkan oleh the International Federation of Accountants (IFAC).
Berdasarkan
aturan etika ini, seorang profesional akuntan sektor publik harus memiliki
karakteristik yang mencakup:
1. Penguasaan keahlian intelektual yang
diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
2. Kesediaan melakukan tugas untuk
masyarakat secara luas di tempat instansi kerja maupun untuk auditan.
3. Berpandangan obyektif.
4. Penyediaan layanan dengan standar
pelaksanaan tugas dan kinerja yang tinggi.
Penerapan
aturan etika ini dilakukan untuk mendukung
tercapainya tujuan profesi akuntan yaitu:
– bekerja dengan standar profesi yang
tinggi,
– mencapai tingkat kinerja yang
diharapkan dan
– mencapai tingkat kinerja yang memenuhi
persyaratan kepentingan masyarakat.
Oleh
karena itu, menurut aturan etika IAI-KASP, ada tiga kebutuhan mendasar yang harus
dipenuhi, yaitu:
1. Kredibilitas akan informasi dan sistem
informasi.
2. Kualitas layanan yang didasarkan pada
standar kinerja yang tinggi.
3. Keyakinan pengguna layanan bahwa adanya
kerangka etika profesional dan standar teknis yang mengatur
persyaratan-persyaratan layanan yang tidak dapat dikompromikan.
Aturan
etika IAI-KASP memuat tujuh prinsip-prinsip dasar perilaku etis auditor dan
empat panduan umum lainnya berkenaan dengan perilaku etis tersebut.
Ketujuh
prinsip dasar tersebut adalah: integritas, obyektivitas, kompetensi dan
kehati-hatian, kerahasiaan, ketepatan bertindak, dan standar teknis dan
profesional.
Empat
panduan umum mengatur hal-hal yang terkait dengan good governance, pertentangan
kepentingan, fasilitas dan hadiah, serta
penerapan aturan etika bagi anggota profesi yang bekerja di luar negeri.
Integritas
Integritas
berkaitan dengan profesi auditor yang dapat dipercaya karena menjunjung tinggi
kebenaran dan kejujuran. Integritas tidak hanya berupa kejujuran tetapi juga sifat
dapat dipercaya, bertindak adil dan berdasarkan keadaan yang sebenarnya.
Hal
ini ditunjukkan oleh auditor ketika memunculkan keunggulan personal ketika
memberikan layanan profesional kepada instansi tempat auditor bekerja dan
kepada auditannya. Misalnya, auditor
seringkali menghadapi situasi di mana terdapat berbagai alternatif penyajian
informasi yang dapat menciptakan gambaran keuangan atau kinerja yang
berbeda-beda. Dengan berbagai tekanan
yang ada untuk memanipulasi fakta-fakta, auditor yang berintegritas mampu
bertahan dari berbagai tekanan tersebut sehingga fakta-fakta tersaji seobyektif
mungkin.
Auditor
perlu mendokumentasikan setiap pertimbangan-pertimbangan yang diambil dalam
situasi penuh tekanan tersebut.
Obyektivitas
Auditor
yang obyektif adalah auditor yang tidak memihak sehingga independensi
profesinya dapat dipertahankan. Dalam mengambil keputusan atau tindakan, ia
tidak boleh bertindak atas dasar prasangka atau bias, pertentangan kepentingan,
atau pengaruh dari pihak lain.
Obyektivitas
dipraktikkan ketika auditor mengambil keputusan2 dalam kegiatan auditnya. Auditor yang obyektif adalah auditor yang
mengambil keputusan berdasarkan seluruh bukti yang tersedia, dan bukannya
karena pengaruh atau berdasarkan pendapat atau prasangka pribadi maupun tekanan
dan pengaruh orang lain.
Obyektivitas
auditor dapat terancam karena berbagai hal. Situasisituasi tertentu dapat
menghadapkan auditor pada tekanan yang mengancam obyektivitasnya, seperti
hubungan kekerabatan antara auditor dengan pejabat yang diaudit. Obyektivitas
auditor juga dapat terancam karena tekanantekanan pihak-pihak tertentu, seperti
ancaman secara fisik. Untuk itu, auditor harus tetap menunjukkan sikap rasional
dalam mengidentifikasi situasi-situasi atau tekanan-tekanan yang dapat
mengganggu obyektivitasnya.
Ketidakmampuan
auditor dalam menegakkan satu atau lebih prinsip-prinsip dasar dalam aturan
etika karena keadaan atau hubungan dengan pihak-pihak tertentu menunjukkan
indikasi adanya kekurangan obyektivitas.
Hubungan
finansial dan non-finansial dapat mengganggu kemampuan auditor dalam
menjalankan prinsip obyektivitas. Misalnya, auditor memegang jabatan komisaris
bersama-sama dengan auditan pada suatu perusahaan sedikit banyak akan
mempengaruhi obyektivitas auditor tersebut ketika mengaudit auditan.
Transaksi
peminjaman dari auditan atau investasi pada auditan dapat mendorong auditor
menyajikan temuan audit yang berbeda dengan keadaan sebenarnya, terutama bila
temuan tersebut berpengaruh terhadap keuangannya.
Kompetensi
dan Kehati-hatian
Agar
dapat memberikan layanan audit yang berkualitas, auditor harus memiliki dan
mempertahankan kompetensi dan ketekunan. Untuk itu auditor harus selalu
meningkatkan pengetahuan dan keahlian profesinya pada tingkat yang diperlukan
untuk memastikan bahwa instansi tempat ia bekerja atau auditan dapat menerima
manfaat dari layanan profesinya berdasarkan pengembangan praktik, ketentuan,
dan teknik-teknik yang terbaru.
Berdasarkan
prinsip dasar ini, auditor hanya dapat melakukan suatu audit apabila ia
memiliki kompetensi yang diperlukan atau menggunakan bantuan tenaga ahli yang
kompeten untuk melaksanakan tugas-tugasnya secara memuaskan.
Berkenaan
dengan kompetensi, untuk dapat melakukan suatu penugasan audit, auditor harus
dapat memperoleh kompetensi melalui pendidikan dan pelatihan yang relevan.
Pendidikan dan pelatihan ini dapat bersifat umum dengan standar tinggi yang
diikuti dengan pendidikan khusus, sertifikasi, serta pengalaman kerja.
Kompetensi yang diperoleh ini harus selalu dipertahankan dan dikembangkan
dengan terus-menerus mengikuti perkembangan dalam profesi akuntansi, termasuk
melalui penerbitan penerbitan nasional dan internasional yang relevan dengan
akuntansi, auditing, dan keterampilan-keterampilan teknis lainnya.
Kerahasiaan
Auditor
harus mampu menjaga kerahasiaan atas informasi yang diperolehnya dalam
melakukan audit, walaupun keseluruhan proses audit mungkin harus dilakukan
secara terbuka dan transparan
Dalam
prinsip kerahasiaan ini juga, auditor dilarang untuk menggunakan informasi yang
dimilikinya untuk kepentingan pribadinya, misalnya untuk memperoleh keuntungan
finansial.
Prinsip
kerahasiaan tidak berlaku dalam situasi-situasi berikut:
– Pengungkapan yang diijinkan oleh pihak
yang berwenang, seperti auditan dan instansi tempat ia bekerja. Dalam melakukan
pengungkapan ini, auditor harus mempertimbangkan kepentingan seluruh pihak,
tidak hanya dirinya, auditan, instansinya saja, tetapi juga termasuk
pihak-pihak lain yang mungkin terkena dampak dari pengungkapan informasi ini.
– Pengungkapan yang diwajibkan
berdasarkan peraturan perundangundangan, seperti tindak pidana pencucian uang,
tindakan KKN, dan tindakan melanggar hukum lainnya.
– Pengungkapan untuk kepentingan
masyarakat yang dilindungi dengan undang-undang.
Bila
auditor memutuskan untuk mengungkapkan informasi karena situasisituasi di atas, ada tiga hal yang harus
dipertimbangkan, yaitu:
– Fakta-fakta yang diungkapkan telah
mendapat dukungan bukti yang kuat atau adanya pertimbangan profesional
penentuan jenis pengungkapan ketika fakta-fakta tersebut tidak didukung dengan
bukti yang kuat.
– Pihak-pihak yang menerima informasi
adalah pihak yang tepat dan memiliki tanggung jawab untuk bertindak atas dasar
informasi tersebut.
– Perlunya nasihat hukum yang profesional
atau konsultasi dengan organisasi yang tepat sebelum melakukan pengungkapan
informasi.
Ketepatan
Bertindak
Auditor
harus dapat bertindak konsisten dalam mempertahankan reputasi profesi serta
lembaga profesi akuntan sektor publik dan menahan diri dari setiap tindakan
yang dapat mendiskreditkan lembaga profesi atau dirinya sebagai auditor
profesional.
Tindakan-tindakan
yang tepat ini perlu dipromosikan melalui kepemimpinan dan keteladanan. Apabila
auditor mengetahui ada auditor lain melakukan tindakan yang tidak benar, maka
auditor tersebut harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk
melindungi masyarakat, profesi, lembaga profesi, instansi tempat ia bekerja dan
anggota profesi lainnya dari tindakan-tindakan auditor lain yang tidak benar
tersebut.
Untuk
itu, ia harus mengumpulkan bukti-bukti dari tindakan yang tidak benar tersebut
dan menuangkannya dalam suatu laporan yang dibuat secara jujur dan dapat
dipertahankan kebenarannya. Auditor kemudian melaporkan kepada pihak yang
berwenang atas tindakan yang tidak benar ini, misalnya kepada atasan dari
auditor yang melakukan tindakan yang tidak benar tersebut atau kepada pihak
yang berwajib apabila pelanggarannya menyangkut tindak pidana.
Standar
teknis dan professional
Auditor
harus melakukan audit sesuai dengan standar audit yang berlaku, yang meliputi
standar teknis dan profesional yang relevan. Standar ini ditetapkan oleh Ikatan
Akuntan Indonesia dan Pemerintah Republik Indonesia.
Pada
instansi-instansi audit publik, terdapat juga standar audit yang mereka
tetapkan dan berlaku bagi para auditornya, termasuk aturan perilaku yang
ditetapkan oleh instansi tempat ia bekerja.
Dalam
hal terdapat perbedaan dan/atau pertentangan antara standar audit dan aturan
profesi dengan standar audit dan aturan instansi, maka permasalahannya
dikembalikan kepada masing-masing lembaga penyusun standar dan aturan tersebut.
Panduan
Umum Lainnya pada Aturan Etika IAI-KASP
Seperti
telah dikemukakan sebelumnya, panduan umum lainnya yang tercantum dalam aturan
etika IAI-KASP terdiri dari empat hal yaitu :
– panduan good governance dari
organisasi/instansi tempat auditor bekerja,
– panduan identifikasi pertentangan
kepentingan,
– panduan atas pemberian fasilitas dan
hadiah, dan
– panduan penerapan aturan etika bagi
auditor yang bekerja di luar wilayah hukum aturan etika.
Good
Governance
Auditor
diharapkan mendukung penerapan good governance pada organisasi atau instansi
tempat ia bekerja, yang meliputi prinsip-prinsip berikut:
– Tidak mementingkan diri sendiri
– Integritas
– Obyektivitas
– Akuntabilitas
– Keterbukaan
– Kejujuran
– Kepemimpinan
Struktur
dan proses organisasi atau instansi tempat ia bekerja harus memiliki hal-hal
berikut yaitu: akuntabilitas keberadaan organisasi, akuntabilitas penggunaan
dana publik, komunikasi dengan stakeholders, dan peran dan tanggung jawab dan
keseimbangan kekuasaan antara stakeholders dan pengelola.
Instansinya
juga harus memiliki mekanisme pelaporan keuangan dan pengendalian intern yang
mencakup: pelaporan tahunan, manajemen risiko dan audit internal, komite audit,
komite penelaah kinerja, dan audit eksternal. Instansinya juga harus memiliki
standar perilaku yang mencakup kepemimpinan dan aturan perilaku.
Pertentangan
Kepentingan
Beberapa
hal yang tercantum dalam aturan etika yang dapat mengindikasikan adanya
pertentangan kepentingan yang dihadapi oleh auditor sektor publik adalah:
1. Adanya tekanan dari atasan, rekan kerja,
maupun auditan di tempat kerja (instansinya).
2. Adanya tekanan dari pihak luar seperti
keluarga atau relasi.
3. Adanya tuntutan untuk bertindak yang
tidak sesuai dengan standar atau aturan.
4. Adanya tuntutan loyalitas kepada
organisasi atau atasan yang bertentangan dengan kepatuhan atas standar profesi.
5. Adanya publikasi informasi yang bias
sehingga menguntungkan instansinya.
6. Adanya peluang untuk memperoleh
keuntungan pribadi atas beban instansi tempat ia bekerja atau auditan.
Fasilitas
dan Hadiah
Auditor
dapat menerima fasilitas atau hadiah dari pihak-pihak yang memiliki atau akan
memiliki hubungan kontraktual dengannya dengan mengacu dan memperhatikan
seluruh peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi, dengan
melakukan tindakan-tindakan berikut:
1. Melakukan pertimbangan atau penerimaan
fasilitas atau hadiah yang normal dan masuk akal, artinya auditor juga akan
menerima hal yang sama pada instansi tempat ia bekerja apabila ia melakukan hal
yang sama.
2. Meyakinkan diri bahwa besarnya pemberian
tidak menimbulkan persepsi masyarakat bahwa auditor akan terpengaruh oleh
pemberian tersebut.
3. Mencatat semua tawaran pemberian
fasilitas atau hadiah, baik yang diterima maupun yang ditolak, dan melaporkan
catatan tersebut.
4. Menolak tawaran-tawaran fasilitas atau
hadiah yang meragukan
Pemberlakuan
Aturan Etika bagi Auditor yang Bekerja di Luar Negeri
Pada
dasarnya auditor harus menerapkan aturan yang paling keras apabila auditor
dihadapkan pada dua aturan berbeda yang berlaku ketika ia bekerja di luar
negeri, yaitu aturan etika profesinya di Indonesia dan aturan etika yang
berlaku di luar negeri.
.
Independensi
Auditor
Sesuai
dengan etika profesi, akuntan yang berpraktik sebagai auditor dipersyaratkan
memiliki sikap independensi dalam setiap pelaksanaan audit.
Dalam
kaitannya dengan auditor, independensi umumnya didefinisikan dengan mengacu
kepada kebebasan dari hubungan (freedom from relationship) yang merusak atau
tampaknya merusak kemampuan akuntan untuk menerapkan obyektivitas. Jadi,
independensi diartikan sebagai kondisi agar obyektivitas dapat diterapkan.
Selain
itu, terdapat pengertian lain tentang independensi yang berarti cara pandang
yang tidak memihak di dalam pelaksanaan pengujian, evaluasi hasil pemeriksaan,
dan penyusunan laporan audit. Independensi harus dipandang sebagai salah satu
ciri auditor yang paling penting.
Alasannya
adalah begitu banyak pihak yang menggantungkan kepercayaannya kepada kelayakan
laporan keuangan berdasarkan laporan auditor yang tidak memihak.
Independensi
dan Profesionalisme Seorang akuntan yang profesional seharusnya tidak
menggunakan pertimbangannya hanya untuk kepuasan auditan. Dalam realitas
auditor, setiap pertimbangan mengenai kepentingan auditan harus
disubordinasikan kepada kewajiban atau tanggung jawab yang lebih besar yaitu
kewajiban terhadap pihak-pihak ketiga dan kepada publik. Prinsip kunci dari
seluruh gagasan profesionalisme adalah bahwa seorang profesional memiliki
pengalaman dan kemampuan mengenali/memahami bidang tertentu yang lebih tinggi dari
auditan. Oleh karena itu, profesional tersebut seharusnya tidak
mensubordinasikan pertimbangannya kepada keinginan auditan.
Sikap
mental independen harus meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam
penampilan (in appearance).
Independensi
dalam kenyataan akan ada apabila pada kenyataannya auditor mampu mempertahankan
sikap yang tidak memihak sepanjang pelaksanaan audit.
Independen
dalam penampilan berarti hasil interpretasi pihak lain mengenai independensi.
Apabila auditor memiliki sikap independen dalam kenyataan tetapi pihak lain
yang berkepentingan yakin bahwa auditor tersebut adalah penasihat auditan maka
sebagian besar nilai fungsi auditnya akan sia-sia.
Independensi
dalam Kenyataan
Independensi
dalam kenyataan merupakan salah satu aspek paling sulit dari etika dalam
profesi akuntansi. Kebanyakan auditor siap untuk menegaskan bahwa untuk
sebagian besar independensi dalam kenyataan merupakan norma dalam kehidupan
sehari-hari seorang profesional. Namun mereka gagal untuk memberikan bukti
penegasan ini atau bahkan untuk menjelaskan mengapa mereka percaya bahwa hal
itu benar demikian Adalah hal yang sulit untuk membedakan sifat-sifat utama
yang diperlukan untuk independensi dalam kenyataan. Audit dikatakan gagal jika
seorang auditor memberikan pendapat kepada pihak ketiga bahwa laporan keuangan
disajikan secara wajar sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum
padahal dalam kenyataannya tidak demikian. Seringkali kegagalan audit disebabkan
oleh tidak adanya independensi.
Contoh
tidak adanya independensi dalam kenyataan adalah tidak adanya obyektivitas dan
skeptisisme, menyetujui pembatasan penting yang diajukan auditan atas ruang
lingkup audit atau dengan tidak melakukan evaluasi kritis terhadap transaksi
auditan. Beberapa pihak juga percaya bahwa ketidakkompetenan merupakan
perwujudan dari tiadanya independensi dalam kenyataan.
Independensi
dalam Penampilan
Independensi
dalam penampilan mengacu kepada interpretasi atau persepsi orang mengenai
independensi auditor. Sebagian besar nilai laporan audit berasal dari status
independensi dari auditor. Oleh karena itu, jika auditor adalah independen
dalam kenyataan, tetapi masyarakat umum percaya bahwa auditor berpihak kepada
auditan, maka sebagian nilai fungsi audit akan hilang.
Adanya
persepsi mengenai tidak adanya independensi dalam kenyataan tidak hanya
menurunkan nilai laporan audit tetapi dapat juga memiliki pengaruh buruk
terhadap profesi. Auditor berperan untuk memberikan suatu pendapat yang tidak
bias pada informasi keuangan yang dilaporkan berdasarkan pertimbangan
profesional. Jika auditor secara keseluruhan tidak dianggap independen, maka
validitas peran auditor di dalam masyarakat akan terancam. Kredibilitas profesi
pada akhirnya bergantung kepada persepsi masyarakat mengenai independensi
(independensi dalam penampilan), bukan independensi dalam kenyataan.
KKN
dan Tindakan Melanggar Hukum Lainnya
Korupsi,
yang di era reformasi ini disandingkan dengan dua jenis tindakan lainnya yaitu kolusi
dan nepotisme, merupakan isu etika yang sangat menonjol dan mendapatkan banyak
perhatian. Secara ekonomi dan politik, korupsi dinilai memiliki dampak yang
luar biasa karena menghambat pertumbuhan ekonomi dan demokrasi.
Oleh
sebab itu, Indonesia telah membentuk kerangka dan kelembagaan untuk memberantas
korupsi. Terakhir, pemerintah telah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) sebuah lembaga independen anti-korupsi.
Dari
sudut pandang etika, korupsi dalam konteks administrasi publik didefinisikan
sebagai penggunaan jabatan, posisi, fasilitas atau sumber daya publik untuk
kepentingan atau keuntungan pribadi. Dengan demikian, korupsi pada dasarnya
merupakan pelanggaran terhadap kepercayaan publik yang diberikan kepada pegawai
atau pejabat publik.
Kepentingan
atau keuntungan pribadi dalam definisi tersebut tidak terbatas pada keuntungan
keuangan, tetapi meliputi juga semua jenis manfaat sekali pun tidak secara
langsung berkaitan dengan diri pegawai atau pejabat publik yang bersangkutan.
Dari
definisi tersebut, maka sebenarnya banyak sekali tindakan pegawai atau pejabat
publik yang dapat dikategorikan korupsi.
Contohnya
adalah pembelian atau pembayaran fiktif, mark up harga pembelian, penerimaan
suap, mangkir kerja dan penerimaan hadiah, parcel atau sumbangan.
Perbuatan-perbuatan tersebut melanggar sumpah dan janji pegawai negeri dan
sekaligus melanggar prinsip-prinsip etika seperti kejujuran, keadilan,
obyektivitas dan legalitas.
Dari
sudut pandang hukum, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun
1971 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang
Tindak Pidana Korupsi, korupsi merupakan tindak pidana yang diartikan sebagai
perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi,
yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara.
Dengan
demikian, secara hukum suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai korupsi jika
memenuhi tiga kondisi, yaitu:
1. melawan hukum,
2. menguntungkan diri sendiri,
3. merugikan negara.
Selain
itu, termasuk pula korupsi adalah penyalahgunaan wewenang, kesempatan dan
sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan untuk menguntungkan diri sendiri,
orang lain atau korporasi, dan perbuatan tersebut merugikan negara
Dalam
era reformasi sekarang ini, penggunaan istilah korupsi selalu disandingkan
dengan kata kolusi dan nepotisme. Kolusi, seperti halnya definisi yang
digunakan dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, mengacu kepada
permufakatan atau kerja sama (secara melawan hukum) dengan sesama pegawai atau
pejabat publik atau dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat,
dan atau negara.
Sementara
itu, nepotisme diartikan sebagai perbuatan oleh pegawai/pejabat publik (secara
melawan hukum) yang menguntungkan keluarganya dan atau kroninya di atas
kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Dalam
konteks administrasi publik, kolusi dan nepotisme merupakan bentuk pelanggaran
etika pelayanan publik, dan sebenarnya keduanya dapat dipandang sebagai
bentuk-bentuk dari tindakan korupsi, atau sebagai bagian dari tindak korupsi.
Pengendalian
Mutu Audit
Hasil
audit diperlukan oleh berbagai pihak sebagai pertimbangan dalam membuat
keputusan. Opini auditor yang tidak akurat akan memberikan dampak yang buruk.
Karenanya, timbul suatu kebutuhan untuk menjaga kualitas laporan audit sehingga
mencegah pengambilan keputusan yang kurang tepat.
Dalam
penugasan audit, auditor harus mematuhi standar audit. Oleh karena itu,
organisasi pemeriksa harus membuat kebijakan dan prosedur pengendalian mutu
untuk memberikan keyakinan memadai tentang kesesuaian penugasan audit dengan
standar audit.
Pengendalian
mutu terdiri metode yang digunakan untuk meyakinkan bahwa organisasi pemeriksa
telah menerapkan dan mematuhi kemahiran profesionalnya, termasuk standar,
kebijakan dan prosedur pemeriksaan secara memadai.
Pengendalian
mutu berhubungan erat, tetapi tidak sama dengan standar audit. Pengendalian
mutu adalah prosedur yang digunakan organisasi pemeriksa di setiap penugasan
audit untuk membantu mereka memenuhi standar audit secara konsisten. Oleh
karena itu, pengendalian mutu ditujukan untuk organisasi pemeriksa secara
keseluruhan, sedangkan audit standar berlaku untuk setiap penugasan audit.
Sifat
dan lingkup sistem pengendalian mutu organisasi pemeriksa sangat tergantung
pada beberapa faktor, seperti ukuran dan tingkat otonomi kegiatan yang
diberikan kepada staf dan organisasi pemeriksa, sifat pekerjaan, struktur
organisasi, pertimbangan mengenai biaya dan manfaatnya.
Pada
mulanya terdapat 9 (sembilan) elemen pengendalian mutu, namun dikurangi menjadi
5 (lima), yang akan dijelaskan dalam tabel sebagai berikut:
Peer
Review
Menurut
Internal Quality Review, istilah peer review memiliki arti eksternal reviu dan
evaluasi kualitas dan efektivitas program akademis, staffing, dan struktur,
yang dilaksanakan oleh pihak eksternal yang memiliki keahlian di bidang yang
direviu.
Dalam
konteks audit sektor publik, peer review memiliki arti penilaian apakah
organisasi pemeriksa telah memenuhi standar pemeriksaan. Beberapa reviu
biasanya melibatkan auditor yang berpengalaman dari organisasi pemeriksaan
lainnya.
Pelaksanaan
peer review memiliki tujuan untuk menentukan dan melaporkan apakah organisasi
pemriksa telah melaksanakan kebijakan dan prosedur untuk kelima elemen
pengendalian mutu dan menerapkannya dalam praktek audit.
Peer
review sendiri bukan untuk mengkritik proses audit tertentu, tetapi untuk
menentukan pengendalian audit yang tepat , bagaimana pengendalian ini
diterapkan, gap pengendalian dan cara untuk meningkatkan sistem kualitas audit.
Peer
review dalam SPKN dinyatakan dalam paragraph 4.38 yaitu “Organisasi pemeriksa
yang melaksanakan pemeriksaan berdasarkan standar pemeriksaan harus direviu
paling tidak sekali dalam 5 (lima) tahun oleh organisasi pemeriksa eksternal
yang berwenang yang tidak mempunyai kaitan dengan organisasi pemeriksa yang
direviu.
Penilaian
atas penegendalian mutu pemeriksaan oleh pihak luar yang kompeten adalah untuk
menentukan apakah sistem pengendalian mutu pemeriksaan sudah dibuat dan
dilaksanakan dengan efektif, sehingga dapat memberikan keyakinan yang memadai
bahwa kebijakan dan prosedur pemeriksaan yang ditetapkan dan standar
peemriksaan yang berlaku telah dipatuhi.”
Pelaksanaan
Peer Review di BPK
Pada
Agustus 2004, BPK menyelesaikan peer review untuk pertama kalinya. Peer review
tersebut dilaksanakan oleh 3 (tiga) pihak dari Badan Audit New Zealand, yaitu
– Direktur Eksekutif New Zealand,
– Direktur Audit New Zealand, dan
– Direktur Asosiasi Audit New Zealand.
Peer
review ini didanai oleh Bank Dunia. Pada akhir peer review, dibuatkan laporan
yang diberikan kepada DPR.
Peer
review terdiri dari:
– legislasi,
– akuntabilitas parlemen,
– kapabilitas dan desain organisasi,
– implementasi dan pelaksanaan audit.
Reviu
dilaksanakan dalam dua tahap:
– Tahap pertama merupakan perencanaan,
penentuan ruang lingkup dan wawancara anggota BPK dan manajemen senior untuk
menganalisis dokumen yang penting dan material.
– Tahap kedua terdiri dari wawancara
lebih lanjut dengan orang-orang yang kompeten di BPK, tetapi lebih difokuskan
kepada reviu sampel audit yang telah dilaksanakan BPK.
Sumber:http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=etika%20dan%20profesional%20auditor&source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CDcQFjAB&url=http%3A%2F%2Fsuhardi.ubb.ac.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2012%2F02%2Fmateri-3.pptx&ei=catrUcymEsqzrAf-w4CYCA&usg=AFQjCNHROn5g6cqfaQo4DKX4JDblkUC81A&bvm=bv.45175338,d.bmk
Langganan:
Postingan (Atom)